Karunia Tuhan berupa akal yang hanya diberikan kepada
kita (manusia) sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya di muka bumi ini
menghasilkan sebuah konsekuensi-logis
bahwa dalam rangka memahami setiap hal yang ditangkap oleh pancaindra manusia,
akan timbul keinginan (hasrat) untuk selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dalam dirinya. Akal ini akan selalu mendorong manusia untuk berproses mencari
jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya diciptakannya sendiri. Sebuah (atau
bahkan banyak) jawaban yang ingin didapat pastinya adalah yang paling mendekati
suatu kebenaran. Akan tetapi, berdasarkan sejarah pemikiran filsafat, khususnya
pada era Yunani, pendayagunaan akal manusia belum menjadi hal yang utama. Hal
ini disebabkan karena pada masa tersebut, pengaruh keilahian melalui doktrin
hukum alam begitu dominan. Barulah kemudian pada masa Renaissance (1493 - 1650) perkembangan pemikiran ini mencapai
puncak keemasannya, seiring dengan tuntutan kebenaran faktual yang mendasarkan
pada rasionalitas yang tampak jelas pada akhir abad kelima belas (Samekto, 2015:31). Rasionalisme telah menempatkan akal budi manusia
sebagai satu-satunya tolok ukur yang sah bagi kegiatan, karya dan kehidupan
manusia (Huijbers, 1982:50).
Tahap selanjutnya adalah pada masa (permulaan abad ke-17)
di mana berkembang dengan pesat pandangan bahwa yang benar adalah yang nyata
dan dapat dilihat serta diobservasi melalui metode ilmiah. Sebuah cara berpikir
yang diprakarsai oleh Francis Bacon (1561 – 1626) melalui metode berpikir
induktif yang pada saat itu menentang kecenderungan para ahli filsafat pada
masa-masa sebelumnya yang dalam alur berpikirnya, untuk pertama-tama menyetujui
terlebih dahulu kesimpulan, baru kemudian mengumpulkan fakta untuk mendukungnya
(Sidharta, 2013:46). Pandangan tersebut kemudian dijadikan landasan lahirnya
filsafat positivisme. Paradigma ini memfokuskan pandangannya dalam epistemologi
tentang ilmu pengetahuan, suatu cabang dalam filsafat yang menurut Runers,
bertugas untuk menyelidiki sumber, struktur, metode dan validitas pengetahuan (I Dewa Gede Atmaja, 2014). Pengaruh (influence) paradigma ini sangat luas dan
signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan hingga saat ini. Betapa
tidak, paradigma a quo telah
menyadarkan kita terhadap pentingnya data dan eksperimen dalam ilmu
pengetahuan. Secara praktis, positivisme telah menjadi sebuah model pemikiran
baru dalam cara berpikir manusia dewasa ini. Namun demikian, sejarah
perkembangan filsafat ilmu pengetahuan telah mencatat bahwa positivisme,
meskipun memiliki keunggulan yang mendasar, bukanlah satu-satunya teori ilmu
pengetahuan. Justru ketika positivisme logis mendapatkan legitimasi dalam
praktik ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu sosial, filsafat ilmu pengetahuan
dewasa ini mengembangkan diri sebagai kritik terhadap praktik-praktik positivisme
tersebut. Salah satu teori epistemologi dimaksud adalah teori kritik dari Karl
Raimud Popper yang memberikan perhatian pada logika ilmu pengetahuan (Dua, 2007:53).
Sosok pria kelahiran Wina,
Austria pada tanggal 28 Juli 1902 ini merupakan salah satu filsuf ilmu
pengetahuan yang turut “memberontak” mazhab lingkaran Wina dengan tokoh sentral
Rudolf Carnap yang pada saat itu merupakan penggagas sekaligus pendakwah paradigma
positivisme, di samping tokoh-tokoh lain, misalnya Thomas Kuhn dan Hans-Georg
Gadamer. Pada saat metode verifikasi dengan gencar dikumandangkan melalui ajaran
positivisme logis (konsep statis), Popper menawarkan sebuah metode yang berbeda
karena menggunakan kritik (konsep dinamis) untuk mencapai suatu kebenaran.
Sebuah metode yang dinamakan metode falsifikasi (uji kebenaran), sebagai
tandingan metode verifikasi (uji kesalahan).
Dalam suatu kesempatan, pada
tanggal 7 April 1978 Karl Raimund Popper diundang memberikan kuliah umum pada
bidang nilai-nilai kemanusiaan, di Universitas Michigan. Dalam pemaparannya tersebut,
Popper membawakan satu topik dengan judul ‘Three
Worlds’ (Tiga Dunia). Dalam topik tersebut, secara sederhana Popper menggagas
pemikiran bahwa alam semesta ini terbagi menjadi tiga bagian (sub) yang
masing-masing berbeda namun saling berinteraksi. Konsep ini merupakan salah
satu karya penting Popper dan menguatkan fondasi metode falsifikasi yang dia
tawarkan, khususnya untuk mempertahankan objektivitas dan rasionalitas ilmu
pengetahuan.
Secara singkat, pembagian
(sub) dunia ini adalah sebagai berikut: Dunia
pertama, disebut Popper sebagai dunia fisik (physical world). Dunia fisik ini terdiri atas segala benda di alam
ini, baik benda mati (the world of
non-living physical objects) maupun segala yang hidup (the world of living things, of biological objects), seperti
tumbuhan dan hewan. Bahkan bentuk energi, seperti radiasi juga termasuk dalam
dunia pertama ini. Jadi dunia ini merupakan dunia materi dan energi, baik
organis maupun non-organis dalam hakikatnya yang fisik.
Dunia
kedua adalah dunia mental atau
psikologis (mental or psychological world)
yang meliputi perasaan (sedih maupun bahagia), pemikiran, keputusan, persepsi, dan
pengamatan, sehingga dengan kata lain dunia mental atau psikologis ini dapat
juga dikatakan sebagai sebuah proses atau pengalaman subjektif manusia. Pada
dunia kedua ini terdapat mental yang berada di alam sadar dan bawah sadar, atau
bisa pula berupa alam psikologis manusia dan alam psikologis hewan.
Dunia
ketiga adalah dunia produk
pemikiran manusia, yang di situ terdapat segala hasil kreasi manusia, seperti
bahasa, rumus, teori, seni, teknologi, argumen, kritik, dan seterusnya. Dunia
ketiga inilah yang oleh Popper disebut dunia pengetahuan objektif yang mana
sebenarnya dengan Dunia 3 inilah Popper ingin menunjukkan argumentasi
perlawanannya terhadap para “filsuf kepercayaan” seperti Descartes, Berkeley,
Hume, Kant, Russel (Taryadi, 1989:93). Yang penting kata Popper, bukanlah
kepercayaan, melainkan pilihan (preferensi) yang kritis, dan problem kita ialah
menemukan teori yang lebih baik dan lebih berani (Popper, 1972:107).
Kemudian bagaimana hubungan
antara tiga dunia itu? Menurut Popper, Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi,
begitu pula Dunia 2 dan Dunia 3 juga saling berinteraksi, sementara Dunia 1 dan
Dunia 3 tidak berinteraksi secara langsung, melainkan melalui perantaraan Dunia
2. Atau dengan istilah lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan
benda-benda psikologis, sedang benda-benda psikologis berinteraksi dengan
benda-benda logis, sementara benda-benda fisiologis tidak berinteraksi dengan
benda-benda logis secara langsung (Popper, 1972:155).
Tulisan ini mencoba untuk
mencerminkan “hukum” dalam perspektif teori atau gagasan three worlds guna mengetahui atau mengidentifikasi posisi hukum
dalam “klasifikasi dunia” yang tawarkan oleh Karl R. Popper tersebut.
Sebelum mengidentifikasi
“hukum” dalam konsep yang digagas oleh Popper tersebut, perlu diingat bahwa standing point Popper adalah dalam
rangka menguatkan pandangan objektivisme yang hakikatnya merupakan ranah ilmu
pengetahuan alam (walaupun kemudian diakomodir dalam pemahaman positivisme
hukum). Timbul pertanyaan, apakah bisa konsep tersebut diterapkan dalam
pemahaman ilmu hukum yang notabene merupakan pengetahuan kemanusiaan? Oleh
karena itu, terlebih dahulu perlu dibahas mengenai kedudukan epistemologi
Popper dalam ilmu pengetahuan untuk melihat “benang merah”-nya dalam
mengidentifikasi ilmu hukum.
Dalam ranah filsafat, Popper
berjalan di atas epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. Penyelidikan dalam
bidang ini telah mendikotomikan filsafat ilmu pengetahuan pada dua pandangan
yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme berpendirian bahwa hanya dengan bermodalkan pada akal budi manusia
kita dapat sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Sementara kaum empirisme
mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia adalah
pengalaman. Yang paling pokok untuk dapat sampai pada pengetahuan yang benar
adalah data dan fakta yang ditangkap oleh pancaindra kita. Selanjutnya muncul
pandangan yang berusaha untuk menjembatani konflik kedua aliran pemikiran ini,
hal tersebut digagas oleh Immanuel Kant melalui transendental idealis-nya yang mengatakan
bahwa kendati pengetahuan berasal dari pengalaman pancaindra, dalam diri manusia
sesungguhnya sudah ada kategori-kategori bentuk sebagaiman dikatakan Plato yang
memungkinkan kita menangkap benda-benda itu sebagaimana adanya (A. Sonny Keraf, 2001:59).
Popper termasuk
golongan filsuf seperti Kant. Ia setuju bahwa tidak mungkin pengetahuan
merupakan suatu tiruan atau impresi realitas. Ia mendukung gagasan sentral Kant
bahwa teori-teori ilmiah adalah buatan manusia atau bahwa kita mencoba
mendesakkan berlakunya teori-teori itu atas dunia. Namun menurut Popper, teori-teori
yang merupakan hasil penemuan manusia mungkin saja hanya dugaan yang kurang
beralasan (ill-reasoned), konjektur,
hipotesis yang berani. Dari sebuah teori manusia membangun suatu dunia, bukan
dunia yang sebenarnya, melainkan jaring-jaring pemikiran manusia sendiri yang
dipakai dalam percobaan menangkap dunia yang sebenarnya (Popper K:25). Oleh
karena itu, Popper termasuk dalam filsuf yang beraliran rasionalisme kritis
yang sekaligus mencakup intelektualisme maupun empirisme, karena Popper
menekankan pentingnya pengamatan dan percobaan sebagai ujian terhadap teori.
Hal ini sesuai dengan prinsip empirisme yang menyatakan bahwa dalam ilmu hanya
pengamatan dan pengalaman boleh memutuskan diterima atau ditolaknya
pernyataan-pernyataan ilmiah, termasuk hukum dan teori (Popper K. R., 1989:27).
Dengan
pendekatan objektivis, yang dalam pandangan Popper juga disebut sebagai
pendekatan problem-solving, Popper
menentang pernyataan bahwa metode pemahaman yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu
sosial sekaligus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu alam. Gagasan problem-solving dapat digunakan juga sebagai
teori penjelasan tentang tindakan manusia. Sebab orang dapat menafsirkan suatu
tindakan sebagai usaha untuk memecahkan masalah
(Taryadi, 1989:104).
Dalam kerangka berpikir yang
demikian maka pendekatan objektivis Popper ini sangat erat kaitannya dengan paradigma
positivisme hukum yang lahir sebagai kritik terhadap mazhab hukum kodrat yang
terlalu idealistik dan abstrak. Dengan demikian, pertanyaan mengenai hukum
seperti apa yang akan diletakkan dalam tiga dunia Popper ini terjawab, yaitu yang
bukan hukum kodrat. Hal ini sejalan dengan perkembangan filsafat hukum yang
menganggap hukum harus netral, bebas nilai, imparsial atau bebas dari
kepentingan manusiawi (rule of law, not
rule of man) demi mengusung objektivitas dan kepastian hukum. Pandangan ini
kemudian yang dijadikan pondasi perkembangan aliran postivisme hukum.
Perkembangan hukum yang dalam
prakteknya sangat menentang pandangan hukum kodrat ini ternyata juga mengalami
dikotomi secara internal, yaitu munculnya pandangan antara hukum normatif
(dogmatik) dengan hukum empiris. Perbedaan keduanya bersifat unik, karena
sama-sama berada pada aras positivisme yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan
hukum yang objektif dan bebas dari kepentingan-kepentingan subjektif. Namun
demikian, layaknya metode falsifikasi yang memberikan jalan alternatif menuju
objektivis, hukum normatif dan empiris juga memberikan jalan yang berbeda untuk
menuju alamat yang sama, yaitu positivisme.
Dalam sejarahnya, empirisme
selalu bertikai dengan rasionalisme. Tetapi dalam ranah Ilmu Hukum, justru
empirisme berselisih dengan ilmu hukum normatif. Padahal ilmu hukum normatif,
tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai rasionalisme. Pertanyaannya, mengapa
dalam ilmu hukum, empirisme justru berselisih dengan normatif (isme)?
Widodo Dwi Putro (Putro, 2011:65-67) memberikan pandangannya dalam
rangka menjawab pertanyaan dimaksud dengan mengemukakan 4 (empat) faktor
penyebab pertentangan tersebut. Pertama,
filsuf empirisme menganggap bahwa hanya yang empirik yang dapat menghasilkan
kebenaran objektif dan tidak spekulatif. Pandangan ini berpijak pada pendapat
David Hume, kemudian diikuti oleh Jeremy Bentham dan diamini oleh John Austin,
yang membedakan “law as it is” (hukum
adap adanya atau yang dikenal oleh pancaindra) dari “law as ought to be” (hukum yang seharusnya atau yang diidealkan); Kedua, ilmu hukum normatif menurut
Kelsen memiliki perbedaan dalam membuat garis demarkasi antara “is” (nyata) dan “ought” (seharusnya). Kelsen sebagaimana pandangan Kant dalam
“imperatif kategoris”, meletakkan norma di wilayah “ought” bukan “is”. Kelsen
melihat hakikat “ought” masih
merupakan makna subjektif dari tiap tindakan berkehendak yang ditujukan pada
perilaku orang lain dan baru memiliki makna objektif apabila bersandar pada
norma hukum; Ketiga, Hans Kelsen
mengembangkan ilmu hukum yang diharapkan berdiri sejajar dengan ilmu-ilmu alam.
Dengan cara yang sama dalam ilmu alam yang berusaha melakukan pemurnian
terhadap aspek-aspek non-eksak dan non-kualitatif untuk mendapat pengetahuan
ilmiah-objektif maka ilmu hukum juga dimurnikan dari anasir-anasir non-hukum
untuk mendapatkan hukum yang objektif. Dalam pemurnian tersebut, tidak
dikehendaki adanya kontaminasi elemen-elemen asing (sosiologi-empiris); Keempat, pangkal pendekatan metodologi
yang berbeda. Ilmu hukum empiris bekerja dengan cara induktif yaitu bertolak
dari pengamatan data khusus, lalu mengambil kesimpulan umum, sedangkan ilmu
hukum normatif “murni” cenderung deduktif (silogisme), berangkat dari premis
mayor (norma hukum), menuju fakta-fakta konkret (premis minor) lalu menarik
konklusi.
Terlepas dari perdebatan perenial antara kedua
kutub pemikiran dalam positivisme hukum tersebut, pandangan A. De Wild (de Rationalitet van Het Rechterlijk Oordeel,
1980) telah memberikan warna tersendiri. Seraya ingin mengadopsi pemikiran
rasionalisme kritikal Popper dalam ilmu hukum empiris, De Wild memaparkan bahwa
tugas dari ilmu hukum (empirik) adalah tidak hanya memaparkan fakta, tetapi
juga menjelaskannya dengan bantuan hipotesis-hipotesis dan keajegan-keajegan.
Bukankah ilmu hukum itu dapat memberikan suatu model keputusan tertentu kepada
pembentuk Undang-Undang dan hakim? Misalnya dalam arti bahwa kepada pembentuk
Undang-Undang dapat dikemukakan bahwa Undang-Undang ini atau itu mempunyai
akibat-akibat (praanggapan-praanggapan) ini dan itu. Atau: jika orang ingin
tujuan ini atau itu tercapai maka harus diadakan suatu pengaturan demikian. Hal
sejenis berkenaan dengan interpretasi Undang-Undang dapat diberikan kepada
hakim (Meuwissen, 2013:60-61).
Sebagaimana
telah dipaparkan sebelumnya, Popper merupakan filsuf dalam golongan
rasionalisme kritis yang tidak hanya membenarkan bahwa pengetahuan bersifat
apriori, melainkan juga harus bersedia mendengarkan penalaran kritis dan
belajar dari pengalaman. Selain tiu, Popper membedakan penggunaan istilah
“akal” dan “rasionalisme” dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti
luas, istilah-istilah tersebut dipakai untuk mencakup tidak hanya kegiatan
intelektual, melainkan juga pengamatan dan percobaan (observation and experiment) dan mungkin lebih tepat disebut
“intelektualisme” (Popper K. R., Conjectures
and Refutations, 1989:25-27). Secara a
contrario, rasionalisme Popper juga meliputi empirisme yang mendasarkan
pada pengamatan dan percobaan. Namun empirisme Popper adalah empirisme kritis
yang memberikan peranan kepada penalaran rasional (rational argument) untuk mengkritik alam rangka memecahkan masalah.
Dengan
demikian, apakah hukum yang akan dikategorikan dalam bagian tiga dunia Popper
ini adalah hukum empiris? Penulis berpandangan tidak, karena apabila yang
dikemukakan adalah pandangan hukum empiris maka seolah-olah hukum normatif
tidak memiliki tempat dalam klasifikasi dunia Popper, begitupula sebaliknya.
Dalam pandangan Kelsen mengenai hukum normatif murni juga masih memberikan
ruang bagi subjektivis dalam tatanan nilai yang kemudian diformulasikan menjadi
suatu norma hukum. Sebaliknya, De Wild juga masih memberikan ruang subjektivis
dalam merasionaliasi fakta-fakta empiris yang ada. Oleh karena itu, dalam
tulisan ini tidak akan dipisahkan antara hukum normatif maupun hukum empiris.
Keduanya memang berbeda dan oleh karena itu dapat dibedakan, namun keduanya
juga tidak terpisah sama sekali. Akar perbedaan tersebut cara pandang
positivisme yang dikotomis memisahkan “is”
dan “ought” dan menuntutnya agar
saling terpisah. Justru kedua hal tersebut yang menjadi ciri khas hukum yang
memiliki karakter normatif. Sebuah normativitas mengharuskan adanya keharusan (ought/sollen) bagi kita untuk melakukan
sikap tertentu. Meskipun benar bahwa norma berhubungan dengan dunia, tetapi ia
(norma) akhirnya berpijak dan bekerja pada basis sosialnya, yaitu
masyarakat (Putro, 2011:74). Jadi hukum
tidak normatif (sollen) semata dan
juga tidak empiris (sein) belaka.
Apabila melihat kriteria
tiga dunia tersebut maka paling mudah berpendapat bahwa hukum berada di Dunia
3. Dunia produk pemikiran manusia, dunia tempat segala hasil kreasi manusia.
Sejalan dengan pandangan positivisme hukum yang sama-sama memberikan nilai
tertinggi pada inderawi dan menolak segala bentuk meta-yuridis. Letak
perbedaannya adalah, bahwa hukum empiris mempositivisasi fakta sosial (law as it is observed in society)
sedangkan hukum normatif murni mempositivisasi norma (law as what it is in the book). Kedua aktivitas tersebut melibatkan
akal budi manusia, sehingga hukum yang dihasilkan merupakan hasil dari akal
pikiran yang kemudian diformulasikan secara linguistis. Hukum memang
multifaset, namun setiap perspektif terhadap fakta hukum tersebut berpangkal
pada akal dan tidak lepas dari suatu kritik. Dalam mekanisme pengujian
Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi misalnya, bunyi pasal atau ayat dari
sebuah ketentuan perundang-undangan yang sudah diundangkan masih dapat
dinilai/dikritik kembali keberlakuannya. Baik dengan alasan bahwa pasal atau
ayat tersebut bertentangan dengan norma lain yang lebih tinggi maupun pasal
atau ayat tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Popper dalam makalahnya pun
mencontohkan, salah satunya, bahwa sebuah konstitusi yang merupakan produk
hukum tertinggi dalam suatu negara tergolong dalam Dunia 3. Susunan kata yang
dirangkai dalam sebuah pasal ataupun ayat dalam konstitusi tersebut tidak hanya
sekedar kumpulan teks yang tersusun rapi, melainkan seolah-olah sebagai guidance dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Dalam hidup bermasyarakat, sebenarnya masing-masing individu memiliki
sense of law secara alamiah, yaitu
tuntutan untuk berbuat baik dan tidak berbuat jahat. Namun dalam kenyataannya,
pemikiran (dalam Dunia 2) tersebut harus dikonkretkan, harus dinyatakan apa
hukumnya, agar pemikiran individu tersebut tersampaikan kepada masing-masing
individu lain dalam masyarakat. Otoritas yang berwenang mengonkretkan hukum
menjadi sebuah produk hukum tersebut juga adalah personifikasi dari manusia,
sehingga otoritas tersebut dalam menjalankan tugas memformulasi hukum juga
tidak bisa luput dari kesalahan dan akan terbuka terhadap kritik. Dengan
demikian, bahwa jelas hukum termasuk dalam Dunia 3.
Popper juga menyampaikan
bahwa sebagian besar, meskipun tidak semua, objek dalam Dunia 3 merupakan
perwujudan atau dapat diwujudkan (embodied)
dalam benda-benda fisik sebagaimana termasuk dalam Dunia 1. Hukum yang
merupakan sebuah produk dari proses logis dalam Dunia 3 tersebut secara
normatif dapat dikategorikan berupa peraturan perundang-undangan maupun putusan
hakim. Tentu dalam pandangan positivisme hukum, produk hukum selalu memiliki
konteks ruang dan waktu. Hukum dalam pengertian positif merupakan sebuah hukum
yang berlaku pada suatu ruang dan waktu tertentu.
Namun demikian, harus
diingat bahwa benda-benda fisik dalam Dunia 1 ini sudah tidak bisa dilakukan
penilaian bahkan kritik terhadapnya. Pandangan demikian dekat pandangan
positivisme hukum di Indonesia pada saat awal perkembangan masuknya ajaran
tersebut (bahkan sampai sekarang) yang ditandai dengan keinginan diadakannya
unifikasi dan kodifikasi hukum. Pada saat itu, hukum tidak melihat struktur
geologis masyarakat Indonesia yang multikultur karena hukum semata-mata hanya
berurusan pada norma-norma dan tidak mempermasalahkan apakah ketentuan tersebut
adil atau tidak. Bahkan, hukum pada konteks ini secara tidak langsung telah
menempatkan Hakim (dan penegak hukum lainnya) hanya sekedar sebagai instrumen
Undang-Undang atau lebih radikal dikatakan hanya sebagai corong Undang-Undang,
sehingga dalam konteks ini hukum tidak dapat dilakukan kritik, yang ada hanya
dioperasionalisasikan. Salah satu contoh misalnya sebagaimana kasus yang
baru-baru saja terjadi di Serang terkait dengan razia terhadap warung yang buka
di siang hari. Hukum tidak mempersoalkan adanya paradoks antara jaminan bekerja
dan menafkahi hidup dengan jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Hukum hanya
bekerja secara praktis dan sesuatu yang pasti tanpa boleh dipertanyakan
nilai-nilainya. Dalam konteks demikianlah menurut penulis, hukum juga “dapat”
termasuk dalam Dunia 1.
Pertanyaan terakhir adalah
apakah ada hukum di dunia mental atau psikologis (mental or psychological world)? Menurut penulis berdasarkan logika
positivisme hukum maka hukum tidak termasuk dalam golongan dunia ini, atau
tidak ada hukum di Dunia 2 karena sangat dekat dengan bentuk pemikiran hukum
kodrat terkait dengan nilai-nilai keadilan dalam berhukum. Jelas hal tersebut
tidak termasuk, bahkan sengaja dieliminasi dalam pemikiran positivisme hukum. Dalam
konteks hukum selalu berkenaan dengan manusia dalam suatu masyarakat maka
pemikiran atau kesadaran hukum yang awalnya bersifat keyakinan internal
(batiniah) harus memiliki bentuk tertentu agar pada saat yang sama,
masing-masing terikat pada yang individu/orang lain pikirkan atau rasakan,
barulah kemudian kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan tertib. Dengan
demikian hukum harus diwujudkan dalam produk hukum (positif), sehingga tidak
ada hukum di dunia mental atau psikologis ini.
Dalam hal ini, Popper juga
memberikan penekanannya (sebagaimana termuat dalam Bab XI makalah Three Worlds) bahwa dalam interaksi
antara Dunia 2 dan Dunia 3 ini terjadi proses yang disebutnya “the transition from a non-linguistic thought
to a linguistically formulated thought” sebagai proses yang penting, selama
pikiran dalam proses Dunia 2 hanya bagian dari diri kita sendiri dan tidak
terbuka kritik baginya. Secara analogi, pandangan yang mungkin paling mendekati
dalam hukum normatif mungkin adalah hukum yang berlaku di masa mendatang (ius constituendum) yang kemudian
berproses menjadi ius constitutum sebagai
hukum positif. Namun demikian, dalam praktiknya ius constituendum ini juga masih terbuka untuk kritik ketika sudah
dituangkan secara linguistik, misalnya sebuah Rancangan Undang-Undang KUHP yang
masih dalam proses diskursus yang sangat panjang, pun secara formal, masih
berbentuk rancangan dan belum berlaku mengikat. Dengan demikian, ius constituendum ini tidak dapat
digolongkan dalam Dunia 2, melainkan dalam Dunia 3, kendati pun masih belum
melalui proses pembahasan dalam sebuah RUU misalnya, apabila rumusan tersebut
telah dituangkan dalam sebuah tulisan
misalnya, maka ia menjadi sebuah produk akal budi sebagaimana dalam Dunia 3.
Berdasarkan seluruh
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Three Worlds oleh Karl R. Popper dapat direfleksikan dalam studi
ilmu hukum, khususnya dalam tulisan ini adalah positivisme hukum. Dalam proses
tersebut kemudian diketahui bahwa hukum termasuk dalam Dunia 1 (fisiologis) dan
Dunia 3 yang merupakan tempat bernaungnya produk pemikiran manusia. Namun
(positivisme) hukum ini tidak dapat direfleksikan dalam Dunia 2 yang merupakan
dunia mental atau psikologi, karena dalam pandangan positivisme hukum yang
dikatakan “ada” adalah sesuatu yang konkret, netral, dan (dalam hal ini) dapat
dikritik.
A. Sonny Keraf, M. D. (2001). Ilmu Pengetahuan: Sebuah
Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Dua, M. (2007). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Maumere: Ledalero.
Huijbers, T. (1982). Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah.
Yogyakarta: PT.
Kanisius.
I Dewa Gede Atmaja, S. d. (2014). Filsafat Ilmu: Dari Pohon
Pengetahuan Sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum. Malang: Madani.
Meuwissen. (2013). Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu
Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Bandung: PT. Refika Aditama.
Popper, K. R. (1972). Objective Knowlegde, An Evolutionary
Approach. Dalam A. Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R.
Popper (hal. 107). Oxford: Clarendon Press.
Putro, W. D. (2011). Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing.
Samekto, A. (2015). Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era
Yunani Menuju Postmodernisme. Jakarta: Konstitusi Press.
Sidharta. (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum Buku 1
(Akar Filosofis). Jakarta: Genta Publishing.
Taryadi, A. (1989). Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut
Karl R. Popper. Jakarta: PT. Gramedia.