Pendahuluan
Hubungan antara manusia dengan alam telah berkembang
sejalan dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia, baik secara
revolusioner maupun evolusioner. Dahulu kala, manusia menggantungkan hidupnya
secara penuh kepada alam sekitar dalam rangka memenuhi kebutuhan primer,
sekunder maupun tersier, semuanya tergantung dan diambil langsung dari alam
sekitar. Namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sangat pesat, sikap manusia terhadap alam menjadi berubah, dimana manusialah
yang menjadi pusat kehidupan. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut manusia berusaha menguasai, mengeksploitasi, dan mengeksplorasi alam
dalam proses industrialisasi untuk kepentingannya sendiri yang bersifat
ekonomis, sehingga lingkungan alam mengalami kerusakan dan kemunduran fungsi
serta daya dukung bagi kehidupan bersama. Barulah kemudian manusia sadar bahwa
lingkungan hidup perlu mendapatkan perhatian, perlindungan dan dijaga
kelestariannya untuk kelangsungan hidup umat manusia sendiri. Kesadaran
mengenai pentingnya persoalan ekologis ini, dari waktu ke waktu terus
berkembang, sehingga akhirnya umat manusia menemukan kenyataan diperlukan
adanya keseimbangan antara manusia dengan alam yang serasi dan selaras, dimana
manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos.
Pemikiran akan perlunya keseimbangan pola hubungan antara
manusia dengan alam dalam perikehidupan yang modern semakin berkembang pesat
pasca diselenggarakannya United Nation
Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia pada 5 Juni
1972. Konferensi 1972 ini menghasilkan resolusi yang sangat menentukan dan
monumental untuk masalah lingkungan hidup. Atas dorongan kesadaran yang luas
mengenai pentingnya upaya melindungi lingkungan hidup dari ancaman pencemaran
dan perusakan, kebijakan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan secara resmi. Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah
pantai terpanjang dan terbanyak serta memiliki keragaman flora dan fauna yang
paling menakjubkan di dunia baru
melegalisasi kebijakan lingkungan hidup pada tahun 1982 dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3215) yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3699, selanjutnya disebut UU 23/1997). Lebih lanjut,
kebijakan lingkungan hidup tersebut kemudian dikonsitusionalisasi melalui
amandemen UUD 1945 yang telah memberikan peningkatan status lingkungan hidup
dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
Jaminan Konstitusional Atas Lingkungan
Hidup
Ketentuan mengenai lingkungan hidup tersebut kemudian dirumuskan
dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial” khususnya dalam Pasal 28H ayat (1) dan
Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak untuk memperoleh
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik,
merupakan hak asasi manusia. Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang
itu, berarti negara diharuskan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang
untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat yang termasuk kategori
hak asasi manusia tersebut. Sebagai hak setiap orang tentunya secara bertimbal
balik pula mewajibkan semua orang untuk menghormati hak orang lain sehubungan
dengan lingkungan yang baik dan sehat itu. Oleh karena itu, di satu sisi setiap
orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tetapi di sisi lain
setiap orang juga berkewajiban untuk menjaga dan menghormati hak orang lain
untuk mendapatkan dan menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat itu.
Demikian pula negara, disamping dibebani kewajiban dan tanggung jawab untuk
menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat, juga berhak menuntut setiap
orang untuk menghormati hak orang lain, dan apabila perlu memaksa setiap orang
untuk tidak merusak dan mencemarkan lingkungan hidup untuk kepentingan bersama.
Oleh karena itu, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan serta pembangunan
harus tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat.
Selain itu, masih dalam kaitan yang sama, Pasal 33 ayat
(4) UUD 1945 menyatakan, “Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.” Berdasarkan ketentuan a
quo maka terdapat dua konsep yang saling berkaitan, yaitu bahwa perekonomian nasional berdasar atas asas demokrasi ekonomi adalah dimaksudkan harus mengandung prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan
berkelanjutan (sustainable development)
merupakan salah satu perwujudan dari wawasan lingkungan. Namun juga sebaliknya, prinsip
pembangunan yang berkelanjutan juga harus diterapkan dalam kebijakan
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan
(sustainable development), proses
pembangunan atau perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang
tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan. Atau
dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dapat dirumuskan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan
lingkungan, termasuk sumber dayanya, ke dalam proses pembangunan yang menjamin
kemampuan dan kesejahteraan generasi masa sekarang dan yang akan datang,
sehingga tidak boleh hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek. Dengan
demikian, terdapat dua elemen pokok yang harus dipahami khususnya bagi pembentuk
Undang-Undang, yaitu: (i) Konsep
kebutuhan, yaitu kebutuhan generasi masa kini dan mendatang untuk hidup
sejahtera, terutama kebutuhan hidup bagi masyarakat kurang mampu dan komunitas
tertinggal yang harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan; dan (ii) Konsep pembatasan, yaitu pembatasan
terhadap pemaksaan yang dilakukan oleh negara, korporasi, atau masyarakat atas
kemampuan lingkungan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sekarang dan masa yang
akan datang.
Oleh karena itu, dengan dicantumkannya norma mengenai
lingkungan hidup dalam UUD 1945 maka tidak boleh ada lagi kebijakan yang
tertuang dalam bentuk Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang yang bertentangan dengan ketentuan dalam konstitusi mengenai
lingkungan hidup. Atau dengan perkataan lain, semua kebijakan mengenai
lingkungan hidup yang akan dibuat oleh para pembentuk Undang-Undang harus
menundukkan diri pada konstitusi sebagai hukum tertinggi. Apalagi, Indonesia
merupakan satu negara kepulauan yang sangat rawan dan rentan bencana alam. Jika
lingkungan hidup tidak dilindungi, pada saatnya kerusakan alam yang terjadi
justru akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.
Negara dan Masyarakat Hukum Adat
Konstitusi sebagai norma dasar (staatsgrundgezets) dalam hierarki peraturan perundang-undangan tentu
menjadi jiwa dari berbagai peraturan perundang-undangan dibawahnya, khususnya
dalam hal ini adalah Undang-Undang di bidang lingkungan hidup, yang
mengaktualisasikan segala prinsip yang telah terkandung dalam konstitusi. Namun
demikian, dalam implementasinya terdapat beberapa permasalahan terkait dengan pengejawantahan
prinsip konstitusi a quo dalam norma
Undang-Undang, khususnya mengenai “singgungan”-nya dengan komunitas masyarakat
hukum adat yang memang secara historis telah terlebih dahulu hidup mendiami
suatu lingkungan yang nantinya terkena dampak pengaturan oleh Undang-Undang,
baik UU P3H maupun UU Kehutanan, sehingga beberapa kalangan menilai bahwa UU P3H
memiliki karakter yang represif yang diskriminatif terhadap masyarakat sekitar
hutan. Karakter represif tersebut digambarkan, antara lain, dari bertambahnya
sejumlah pasal-pasal ancaman pemidanaan dan memenjarakan masyarakat hukum adat,
masyarakat lokal dan masyarakat desa yang bersinggungan dengan kawasan hutan
dalam UU P3H, padahal semangat UU P3H diawal adalah menyasar pelaku perusakan
hutan yang terorganisir yang merupakan usaha skala besar. Berdasarkan pendapat
tersebut, maka timbul permasalahan terkait “Apakah
ketentuan pemidanaan dalam UU P3H dan UU Kehutanan telah menegasikan hak-hak
masyarakat hukum adat sehingga bertentangan dengan UUD 1945?”
Bahwa masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis
yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri
dari berbagai komunitas primordial, berukuran kecil yang warganya mempunyai
hubungan darah satu sama lainnya dengan karakteristik adanya kekeluargaan dan
kebersamaan. Sedangkan negara adalah entitas politik baru yang bersifat
artifisial, yang dirancang untuk menguasai seluruh penduduk yang mendiami suatu
daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya
dengan karakteristik adanya kedaulatan dan kekuasaan. Oleh karena kedua entitas
ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka secara
tertutup atau terbuka akan timbul suatu competing
claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta
terhadap sumber daya alam yang sama. Sudah barang tentu, dalam kompetisi ini
masyarakat hukum adat akan selalu kalah, karena harus berhadapan dengan entitas
politik yang memiliki kekuatan (power)
jauh lebih besar, yang dengan kekuatan tersebut bertujuan, antara lain, adalah
untuk penguasaan terhadap seluruh rakyat dan sumber daya di dalam wilayahnya,
serta dilengkapi dengan suatu pemerintahan yang didukung oleh aparat penegak
hukum didalamnya. Hal tersebut yang
mendorong adanya perjuangan secara terstruktur dan terencana untuk memberikan
pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat
termasuk dalam konstitusi sebagai norma hukum tertinggi.
Bahwa Pasal 18B ayat (2) menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana
diamanatkan oleh konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar, antara lain,
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
dan peraturan di bawahnya. Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria
menyatakan, “Dengan sendirinya Hukum
Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat
banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat,
maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan
hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan
kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia
internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana
dimaklumi maka Hukum Adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari
pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja
yang feodal.” Selain itu, Pasal 5 Undang-Undang a quo menyatakan, “Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan
peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang
bersandar pada hukum agama.” Penjelasan butir (f) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan pengertian bahwa hak, kewajiban,
dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin
keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses
penyelenggaraan penataan ruang. Bahkan masyarakat hukum adat juga memiliki hak
yang dikecualikan dalam pembayaran pajak. Pasal 48 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah memberikan pengaturan hak
bahwa tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang
tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka
pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan. Terlebih lagi, Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, bertanggal 16 Mei 2013 telah
menempatkan hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan
negara. Dengan demikian, secara normatif negara memiliki political will untuk menjamin keberadaan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi
kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD
1945 tersebut memiliki 4 (empat) syarat konstitusional yaitu: (i) sepanjang masih ada; (ii)
sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban; (iii) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
(iv) diatur dalam Undang-Undang.
Selain itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, Mahkamah dalam Putusan Nomor Nomor 35/PUU-X/2012 a quo, antara lain juga
mempertimbangkan sebagai berikut:
“Di samping itu, berkenaan dengan syarat
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya
status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status
keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi adalah: (1)
kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2) kenyataannya
tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak
diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat
yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka digunakan untuk
kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara penggusuran-penggusuran.
Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang
mereka kuasai. Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya
tidak ada tetapi objek hak-hak adatnya masih diakui. Artinya, berdasarkan
sejarah keberadaan mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya
sesuai dengan perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau
sifat yang melekat pada masyarakat hukum adat. Tanda-tanda dan sifat masyarakat
hukum adat yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya,
termasuk wewenang masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai.
Hutan adat dengan demikian kembali dikelola oleh Pemerintah/Negara. Pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, tidak bermaksud melestarikan masyarakat hukum
adat dalam keterbelakangan, tetapi sebaliknya mereka harus tetap memperoleh
kemudahan dalam mencapai kesejahteraan, menjamin adanya kepastian hukum yang
adil baik bagi subjek maupun objek hukumnya, jika perlu memperoleh perlakuan
istimewa (affirmative action). Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban [vide Pasal 28I ayat
(3) UUD 1945]. Tidak dapat dihindari, karena pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, masyarakat hukum adat cepat atau lambat juga akan
mengalami perubahan, bahkan lenyap sifat dan tanda-tandanya. Perubahan tersebut
dapat berdampak positif maupun negatif bagi masyarakat yang bersangkutan.”
Oleh karena itu, untuk menjamin adanya kepastian hukum
yang berkeadilan, pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum
adat tersebut harus dituangkan dalam norma Undang-Undang dengan tetap
memperhatikan ketentuan lain dalam konstitusi secara komprehensif khususnya
ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam konstitusi.
Bahwa
dalam kerangka hubungan antara hak dan kewajiban negara atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut saya, negara
berhak melakukan intervensi dalam hal penegakan kebijakan lingkungan hidup yang
sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan termasuk salah
satunya dengan menerapkan ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan
di bidang lingkungan hidup, dalam hal ini UU P3H dan UU Kehutanan. Selain itu,
ketentuan pidana dalam kedua Undang-Undang a
quo adalah sebagai bentuk upaya represif dari pemerintah dalam penegakan
hukum lingkungan hidup, karena sebagaimana telah dijelaskan di atas, lingkungan
hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas
tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu,
pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi,
sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi
lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan
lokal dan kearifan lingkungan. Namun demikian, upaya represif dalam penegakan
hukum lingkungan yang diaktualisasikan dalam ketentuan pidana tersebut harus
tetap dipandang sebagai upaya hukum terakhir (ultimum remedium), yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah
laku manusia, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak
melakukan kejahatan. Semangat kekeluargaan dan musyawarah yang diamanatkan oleh
Pancasila tetap harus menjadi upaya pertama sekaligus guidance dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup terutama
menyangkut masyarakat hukum adat yang dalam kehidupan kesehariannya patuh
kepada hukum adatnya masing-masing. Di lain pihak, dibutuhkan pemahaman yang
utuh di kalangan penegak hukum, terutama dalam menangani kasus-kasus pidana
yang melibatkan masyarakat adat, untuk lebih melihat dan menggali nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat lokal beserta kebiasaannya.
Selain
itu, adanya ketentuan Pasal 11 ayat (4) UU P3H yang memuat keharusan izin
terlebih dahulu untuk melakukan penebangan kayu di luar kawasan
hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk
tujuan komersial merupakan
salah satu upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup
selain juga menggunakan instrumen pengawasan secara maksimal. Adanya izin dari
pejabat pejabat yang berwenang tersebut pada dasarnya juga memberikan
perlindungan kepada eksistensi masyarakat hukum adat, karena ditujukan untuk
memastikan bahwa masyarakat yang bersangkutan adalah benar-benar merupakan
pihak yang berhak untuk melakukan penebangan kayu, di samping untuk menjaga
agar hutan tidak disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak. Namun demikian,
pada prinsipnya pemberian izin bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam
dan/atau di sekitar kawasan hutan haruslah dilakukan sebagai bagian dari tugas
pelayanan pemerintah kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat sekitar
yang masih hidup dan melaksanakan aktivitasnya guna memenuhi kebutuhan hidup
sehari-harinya.
Bahwa
dalam perkembangannya sampai sekarang, konsep pembangunan berkelanjutan sebagai
suatu kesatuan sistem pembangunan sebagaimana telah dijelaskan di atas, selalu
dikaitkan dengan tiga hal pokok, yaitu soal lingkungan (environment), ekonomi (economy),
dan komunitas (community). Pada
umumnya, konsep pembangunan berkelanjutan cenderung hanya dilihat dari
perspektif ekonomi saja tanpa melihat secara lebih dalam sebagai persoalan
kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam UUD 1945, ketentuan mengenai pembangunan
berkelanjutan dan wawasan lingkungan ini ditempatkan dalam Bab XIV yang
berjudul “Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial”, yaitu dalam Pasal 33 ayat (4). Oleh karena itu,
sangat jelas bahwa pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan dilihat
sebagai prinsip dalam kerangka demokrasi ekonomi sebagai dasar bagi
penyelenggaraan perekonomian nasional. Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk
lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan
kesengsaraan warga negara, dalam hal ini khususnya antara masyarakat hukum adat
dengan para pemiliki modal (industri). Dengan demikian, pada prinsipnya
pemerintah dapat memberikan ruang atau kesempatan dalam bentuk perizinan kepada
pihak pengusaha (BUMN maupun swasta) dalam bidang lingkungan hidup, khususnya
kehutanan, untuk mengolah dan menikmati hasil kekayaan hutan dengan melibatkan
peran masyarakat hukum adat dengan tetap mempertimbangkan karakteristik sosial
budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum
adat. Lebih lanjut, pemerintah harus pula memberikan kesempatan kepada
masyarakat setempat (termasuk masyarakat hukum adat) untuk melakukan kegiatan
pemanfaatan hutan, baik itu melalui kerjasama dengan pengusaha yang bergerak di
bidang kehutanan dengan cara mempekerjakan masyarakat hukum adat setempat, atau
dengan memberikan pola pengelolaan, wilayah, serta kelembagaan tertentu bagi
masyarakat hukum adat untuk mengelola wilayah tersebut secara turun-temurun,
sehingga tidak akan lagi terjadi konflik antara pengusaha kehutanan dengan
masyarakat hukum adat setempat. Hal ini dapat dicapai dengan baik dengan
berdasarkan pada hukum yang intinya memiliki beberapa fungsi, antara lain
yaitu: (i) law is a tool of social
control; (ii) law is a tool of social
engineering; dan (iii) law is a tool
of social integration. Dengan ketiga fungsinya tersebut, kedua
Undang-Undang a quo dapat dan akan
berfungsi mengontrol agar masyarakat berperilaku yang ramah dan melestarikan hutan sekaligus dapat
memanfaatkan hutan secara berkesinambungan untuk kepentingan masyarakat di masa
kini dan masa yang akan datang. Kedua,
merubah perilaku negatif masyarakat (yang destruktif) ke arah yang lebih positif. Ketiga,
mengintegrasikan masyarakat agar sinergis dalam memperlakukan dan memanfaatkan hutan secara
ekonomis dan ekologis.