Rabu, 30 Desember 2015

NEGARA (HUKUM) VS MASYARAKAT (ADAT) [Dalam Perspektif UU Kehutanan serta UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan]

Pendahuluan
Hubungan antara manusia dengan alam telah berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia, baik secara revolusioner maupun evolusioner. Dahulu kala, manusia menggantungkan hidupnya secara penuh kepada alam sekitar dalam rangka memenuhi kebutuhan primer, sekunder maupun tersier, semuanya tergantung dan diambil langsung dari alam sekitar. Namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, sikap manusia terhadap alam menjadi berubah, dimana manusialah yang menjadi pusat kehidupan. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut manusia berusaha menguasai, mengeksploitasi, dan mengeksplorasi alam dalam proses industrialisasi untuk kepentingannya sendiri yang bersifat ekonomis, sehingga lingkungan alam mengalami kerusakan dan kemunduran fungsi serta daya dukung bagi kehidupan bersama. Barulah kemudian manusia sadar bahwa lingkungan hidup perlu mendapatkan perhatian, perlindungan dan dijaga kelestariannya untuk kelangsungan hidup umat manusia sendiri. Kesadaran mengenai pentingnya persoalan ekologis ini, dari waktu ke waktu terus berkembang, sehingga akhirnya umat manusia menemukan kenyataan diperlukan adanya keseimbangan antara manusia dengan alam yang serasi dan selaras, dimana manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos.
Pemikiran akan perlunya keseimbangan pola hubungan antara manusia dengan alam dalam perikehidupan yang modern semakin berkembang pesat pasca diselenggarakannya United Nation Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972. Konferensi 1972 ini menghasilkan resolusi yang sangat menentukan dan monumental untuk masalah lingkungan hidup. Atas dorongan kesadaran yang luas mengenai pentingnya upaya melindungi lingkungan hidup dari ancaman pencemaran dan perusakan, kebijakan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara resmi. Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah pantai terpanjang dan terbanyak serta memiliki keragaman flora dan fauna yang paling menakjubkan di dunia baru  melegalisasi kebijakan lingkungan hidup pada tahun 1982 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699, selanjutnya disebut UU 23/1997). Lebih lanjut, kebijakan lingkungan hidup tersebut kemudian dikonsitusionalisasi melalui amandemen UUD 1945 yang telah memberikan peningkatan status lingkungan hidup dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
Jaminan Konstitusional Atas Lingkungan Hidup
Ketentuan mengenai lingkungan hidup tersebut kemudian dirumuskan dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” khususnya dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik, merupakan hak asasi manusia. Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang itu, berarti negara diharuskan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat yang termasuk kategori hak asasi manusia tersebut. Sebagai hak setiap orang tentunya secara bertimbal balik pula mewajibkan semua orang untuk menghormati hak orang lain sehubungan dengan lingkungan yang baik dan sehat itu. Oleh karena itu, di satu sisi setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tetapi di sisi lain setiap orang juga berkewajiban untuk menjaga dan menghormati hak orang lain untuk mendapatkan dan menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat itu. Demikian pula negara, disamping dibebani kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat, juga berhak menuntut setiap orang untuk menghormati hak orang lain, dan apabila perlu memaksa setiap orang untuk tidak merusak dan mencemarkan lingkungan hidup untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan serta pembangunan harus tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain itu, masih dalam kaitan yang sama, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Berdasarkan ketentuan a quo maka terdapat dua konsep yang saling berkaitan, yaitu bahwa perekonomian nasional berdasar atas asas demokrasi ekonomi adalah dimaksudkan harus mengandung prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu perwujudan dari wawasan lingkungan. Namun juga sebaliknya, prinsip pembangunan yang berkelanjutan juga harus diterapkan dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), proses pembangunan atau perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan. Atau dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dapat dirumuskan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya, ke dalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan dan kesejahteraan generasi masa sekarang dan yang akan datang, sehingga tidak boleh hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek. Dengan demikian, terdapat dua elemen pokok yang harus dipahami khususnya bagi pembentuk Undang-Undang, yaitu: (i) Konsep kebutuhan, yaitu kebutuhan generasi masa kini dan mendatang untuk hidup sejahtera, terutama kebutuhan hidup bagi masyarakat kurang mampu dan komunitas tertinggal yang harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan; dan (ii) Konsep pembatasan, yaitu pembatasan terhadap pemaksaan yang dilakukan oleh negara, korporasi, atau masyarakat atas kemampuan lingkungan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sekarang dan masa yang akan datang.
Oleh karena itu, dengan dicantumkannya norma mengenai lingkungan hidup dalam UUD 1945 maka tidak boleh ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang bertentangan dengan ketentuan dalam konstitusi mengenai lingkungan hidup. Atau dengan perkataan lain, semua kebijakan mengenai lingkungan hidup yang akan dibuat oleh para pembentuk Undang-Undang harus menundukkan diri pada konstitusi sebagai hukum tertinggi. Apalagi, Indonesia merupakan satu negara kepulauan yang sangat rawan dan rentan bencana alam. Jika lingkungan hidup tidak dilindungi, pada saatnya kerusakan alam yang terjadi justru akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.
Negara dan Masyarakat Hukum Adat
Konstitusi sebagai norma dasar (staatsgrundgezets) dalam hierarki peraturan perundang-undangan tentu menjadi jiwa dari berbagai peraturan perundang-undangan dibawahnya, khususnya dalam hal ini adalah Undang-Undang di bidang lingkungan hidup, yang mengaktualisasikan segala prinsip yang telah terkandung dalam konstitusi. Namun demikian, dalam implementasinya terdapat beberapa permasalahan terkait dengan pengejawantahan prinsip konstitusi a quo dalam norma Undang-Undang, khususnya mengenai “singgungan”-nya dengan komunitas masyarakat hukum adat yang memang secara historis telah terlebih dahulu hidup mendiami suatu lingkungan yang nantinya terkena dampak pengaturan oleh Undang-Undang, baik UU P3H maupun UU Kehutanan, sehingga beberapa kalangan menilai bahwa UU P3H memiliki karakter yang represif yang diskriminatif terhadap masyarakat sekitar hutan. Karakter represif tersebut digambarkan, antara lain, dari bertambahnya sejumlah pasal-pasal ancaman pemidanaan dan memenjarakan masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan masyarakat desa yang bersinggungan dengan kawasan hutan dalam UU P3H, padahal semangat UU P3H diawal adalah menyasar pelaku perusakan hutan yang terorganisir yang merupakan usaha skala besar. Berdasarkan pendapat tersebut, maka timbul permasalahan terkait “Apakah ketentuan pemidanaan dalam UU P3H dan UU Kehutanan telah menegasikan hak-hak masyarakat hukum adat sehingga bertentangan dengan UUD 1945?”
Bahwa masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial, berukuran kecil yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya dengan karakteristik adanya kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan negara adalah entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai seluruh penduduk yang mendiami suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya dengan karakteristik adanya kedaulatan dan kekuasaan. Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka secara tertutup atau terbuka akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama. Sudah barang tentu, dalam kompetisi ini masyarakat hukum adat akan selalu kalah, karena harus berhadapan dengan entitas politik yang memiliki kekuatan (power) jauh lebih besar, yang dengan kekuatan tersebut bertujuan, antara lain, adalah untuk penguasaan terhadap seluruh rakyat dan sumber daya di dalam wilayahnya, serta dilengkapi dengan suatu pemerintahan yang didukung oleh aparat penegak hukum  didalamnya. Hal tersebut yang mendorong adanya perjuangan secara terstruktur dan terencana untuk memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat termasuk dalam konstitusi sebagai norma hukum tertinggi.
Bahwa Pasal 18B ayat (2) menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar, antara lain, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan, “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal.” Selain itu, Pasal 5 Undang-Undang a quo menyatakan, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Penjelasan butir (f) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan pengertian bahwa hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang. Bahkan masyarakat hukum adat juga memiliki hak yang dikecualikan dalam pembayaran pajak. Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah memberikan pengaturan hak bahwa tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan. Terlebih lagi, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, bertanggal 16 Mei 2013 telah menempatkan hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara. Dengan demikian, secara normatif negara memiliki political will untuk menjamin keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut memiliki 4 (empat) syarat konstitusional yaitu: (i) sepanjang masih ada; (ii) sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban; (iii) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (iv) diatur dalam Undang-Undang. Selain itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, Mahkamah dalam Putusan Nomor Nomor 35/PUU-X/2012 a quo, antara lain juga mempertimbangkan sebagai berikut:
Di samping itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi adalah: (1) kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2) kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai. Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek hak-hak adatnya masih diakui. Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang melekat pada masyarakat hukum adat. Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai. Hutan adat dengan demikian kembali dikelola oleh Pemerintah/Negara. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, tidak bermaksud melestarikan masyarakat hukum adat dalam keterbelakangan, tetapi sebaliknya mereka harus tetap memperoleh kemudahan dalam mencapai kesejahteraan, menjamin adanya kepastian hukum yang adil baik bagi subjek maupun objek hukumnya, jika perlu memperoleh perlakuan istimewa (affirmative action). Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban [vide Pasal 28I ayat (3) UUD 1945]. Tidak dapat dihindari, karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat hukum adat cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan, bahkan lenyap sifat dan tanda-tandanya. Perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, untuk menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan, pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat tersebut harus dituangkan dalam norma Undang-Undang dengan tetap memperhatikan ketentuan lain dalam konstitusi secara komprehensif khususnya ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam konstitusi.
Bahwa dalam kerangka hubungan antara hak dan kewajiban negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut saya, negara berhak melakukan intervensi dalam hal penegakan kebijakan lingkungan hidup yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan termasuk salah satunya dengan menerapkan ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan di bidang lingkungan hidup, dalam hal ini UU P3H dan UU Kehutanan. Selain itu, ketentuan pidana dalam kedua Undang-Undang a quo adalah sebagai bentuk upaya represif dari pemerintah dalam penegakan hukum lingkungan hidup, karena sebagaimana telah dijelaskan di atas, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Namun demikian, upaya represif dalam penegakan hukum lingkungan yang diaktualisasikan dalam ketentuan pidana tersebut harus tetap dipandang sebagai upaya hukum terakhir (ultimum remedium), yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Semangat kekeluargaan dan musyawarah yang diamanatkan oleh Pancasila tetap harus menjadi upaya pertama sekaligus guidance dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup terutama menyangkut masyarakat hukum adat yang dalam kehidupan kesehariannya patuh kepada hukum adatnya masing-masing. Di lain pihak, dibutuhkan pemahaman yang utuh di kalangan penegak hukum, terutama dalam menangani kasus-kasus pidana yang melibatkan masyarakat adat, untuk lebih melihat dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal beserta kebiasaannya.
Selain itu, adanya ketentuan Pasal 11 ayat (4) UU P3H yang memuat keharusan izin terlebih dahulu untuk melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial merupakan salah satu upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup selain juga menggunakan instrumen pengawasan secara maksimal. Adanya izin dari pejabat pejabat yang berwenang tersebut pada dasarnya juga memberikan perlindungan kepada eksistensi masyarakat hukum adat, karena ditujukan untuk memastikan bahwa masyarakat yang bersangkutan adalah benar-benar merupakan pihak yang berhak untuk melakukan penebangan kayu, di samping untuk menjaga agar hutan tidak disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak. Namun demikian, pada prinsipnya pemberian izin bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan haruslah dilakukan sebagai bagian dari tugas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat sekitar yang masih hidup dan melaksanakan aktivitasnya guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.

Bahwa dalam perkembangannya sampai sekarang, konsep pembangunan berkelanjutan sebagai suatu kesatuan sistem pembangunan sebagaimana telah dijelaskan di atas, selalu dikaitkan dengan tiga hal pokok, yaitu soal lingkungan (environment), ekonomi (economy), dan komunitas (community). Pada umumnya, konsep pembangunan berkelanjutan cenderung hanya dilihat dari perspektif ekonomi saja tanpa melihat secara lebih dalam sebagai persoalan kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam UUD 1945, ketentuan mengenai pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan ini ditempatkan dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”, yaitu dalam Pasal 33 ayat (4). Oleh karena itu, sangat jelas bahwa pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan dilihat sebagai prinsip dalam kerangka demokrasi ekonomi sebagai dasar bagi penyelenggaraan perekonomian nasional. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara, dalam hal ini khususnya antara masyarakat hukum adat dengan para pemiliki modal (industri). Dengan demikian, pada prinsipnya pemerintah dapat memberikan ruang atau kesempatan dalam bentuk perizinan kepada pihak pengusaha (BUMN maupun swasta) dalam bidang lingkungan hidup, khususnya kehutanan, untuk mengolah dan menikmati hasil kekayaan hutan dengan melibatkan peran masyarakat hukum adat dengan tetap mempertimbangkan karakteristik sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat. Lebih lanjut, pemerintah harus pula memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat (termasuk masyarakat hukum adat) untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, baik itu melalui kerjasama dengan pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan dengan cara mempekerjakan masyarakat hukum adat setempat, atau dengan memberikan pola pengelolaan, wilayah, serta kelembagaan tertentu bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola wilayah tersebut secara turun-temurun, sehingga tidak akan lagi terjadi konflik antara pengusaha kehutanan dengan masyarakat hukum adat setempat. Hal ini dapat dicapai dengan baik dengan berdasarkan pada hukum yang intinya memiliki beberapa fungsi, antara lain yaitu: (i) law is a tool of social control; (ii) law is a tool of social engineering; dan (iii) law is a tool of social integration. Dengan ketiga fungsinya tersebut, kedua Undang-Undang a quo dapat dan akan berfungsi mengontrol agar masyarakat berperilaku yang ramah dan melestarikan hutan sekaligus dapat memanfaatkan hutan secara berkesinambungan untuk kepentingan masyarakat di masa kini dan masa yang akan datang. Kedua, merubah perilaku negatif masyarakat (yang destruktif) ke arah yang lebih positif. Ketiga, mengintegrasikan masyarakat agar sinergis dalam memperlakukan dan memanfaatkan hutan secara ekonomis dan ekologis.

Selasa, 08 Desember 2015

JAMINAN SOSIAL NASIONAL PASCA UU 24/2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

PENDAHULUAN
Kesehatan sebagai salah satu bagian dari hajat hidup orang banyak merupakan hak yang dilindungi dan wajib dipenuhi negara sebagai perwujudan tujuan pembentukan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam Alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut kemudian diimplementasikan dalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang memberikan hak konstitusional kepada setiap orang atas jaminan sosial, dan di lain pihak, negara berdasarkan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 memiliki kewajiban konstitusional untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hak dan kewajiban konstitusional yang timbul dari kedua pasal tersebut harus diartikan secara keseluruhan, yaitu rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan jaminan sosial, begitupula negara juga memiliki hak dan kewajiban dalam mengembangkan sistem jaminan sosial.
Kata “jaminan” secara bahasa dapat berarti asuransi (insurance), peyakinan (assurance), garansi (guarantee/warranty), janji (promise/pledge), dan pengamanan (security). Perkembangan dalam dunia ekonomi kesehatan secara global akhirnya menuntun negara melalui pembentuk Undang-Undang dalam mengembangkan system jaminan social di Indonesia menggunakan kata “asuransi” dari yang sebelumnya “jaminan” sebagaimana dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Perubahan tersebut dalam pelaksanaannya menimbulkan perdebatan karena memiliki kesan perbedaan bahkan pertentangan makna antara keduanya karena pandangan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih mengartikan asuransi dalam pengertian komersial. Asuransi (insurance) berasal dari kata in-sure yang berarti memastikan. Dalam konteks asuransi kesehatan, pengertian asuransi adalah memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan tanpa harus mempertimbangkan keadaan kantongnya karena ada pihak yang menjamin (asuradur) biaya pengobatan atau perawatan orang tersebut. Secara teori, salah satu jenis asuransi adalah asuransi sosial, yaitu asuransi yang wajib diikuti oleh seluruh atau sebagian penduduk yang pendanaannya dapat berasal dari premi/iuran berupa presentase upah yang wajib dibayarkan atau berasal dari pajak maupun kombinasi keduanya dan manfaat asuransi (benefit) ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan serta sama untuk semua peserta asuransi. Dalam asuransi sosial terdapat system gotong-royong (risk sharing) yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang disepakati secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dana yang terkumpul dari masing-masing penduduk (dana amanat) akan digunakan untuk kepentingan bersama.
Asuransi sosial bertujuan untuk menjamin akses semua orang yang memerlukan pelayanan kesehatan tanpa memperdulikan status ekonomi atau usianya, sehingga memungkinkan terciptanya solidaritas sosial melalui gotong-royong antara kelompok kaya-miskin, muda-tua dan sehat-sakit. Prinsip tersebut merupakan bagian dari pengamalan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bahkan Soekarno secara tersurat dalam pidatonya di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI), tanggal 1 Juni 1945 menyatakan bahwa gotong-royong adalah saripati Pancasila dan menjadi ciri khas negara yang didirikan sebagai wujud impian dan cita-cita bersama rakyat Indonesia. Dengan demikian, asuransi sosial sebagai system jaminan sosial telah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945 karena akan menciptakan sebuah keadilan sosial (social justice) dengan menumbuhkan kesadaran akan kewajiban individu terhadap masyarakat/public secara kolektif sebagai perwujudan kehidupan berbudaya yang mengutamakan kepentingan bersama.
UNIFIKASI PENYELENGARA JAMINAN SOSIAL
Keberadaan BPJS, yang merupakan amanat UU SJSN dan UU BPJS, sebagai satu-satunya badan penyelenggara jaminan sosial dalam lingkup nasional ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang kontra dengan bentuk dan sifat badan yang baru ini beranggapan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bersifat monopolistic karena setiap orang, baik pekerja maupun pemberi kerja wajib mendaftarkan diri maupun pekerjanya hanya kepada BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Hal tersebut dinilai akan menghalangi hak masyarakat untuk memilih penyelenggara jaminan sosial yang lebih baik dan menghalangi partisipasi masyarakat untuk turut berperan serta menyelenggarakan jaminan sosial dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Pendapat tersebut dapat dipahami karena sebelum diadakan unifikasi penyelenggara jaminan sosial a quo, terdapat 4 (empat) badan penyelenggara jaminan sosial seperti Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES yang masing-masing telah eksis berjalan sesuai dengan lingkup kewenangannya. Baru kemudian Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN mengamanatkan dibentuknya suatu badan penyelenggara jaminan sosial berskala nasional dengan Undang-Undang tersendiri dengan peralihan bahwa keempat badan penyelenggara jamina sosial tersebut tetap diberi hak sebagai penyelenggara jaminan sosial sampai dengan terbentuknya BPJS. Berdasarkan rumusan pasal-pasal a quo maka pembentuk Undang-Undang sebenarnya ingin merubah system jaminan sosial dengan menyatukan seluruh badan (multi) penyelenggara menjadi satu badan (single) khusus secara nasional. Kebijakan perubahan konsep tersebut adalah dalam rangka pengembangan system jaminan sosial dan sesuai dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Selain itu, perubahan konsep penyelenggara jaminan sosial yang semula dilaksanakan oleh BUMN yang kinerjanya diukur berdasarkan indicator laba dan indicator finansial lain kemudian diserahkan kepada suatu badan hukum public khusus yang hanya menyelenggarakan program jaminan sosial dengan prinsip gotong-royong, nirlaba, tata kelola yang baik (good governance), dan portabilitas telah meluruskan kembali tujuan jaminan sosial yang merupakan program kewajiban negara, bukan sekedar program “dagang” negara. Dalam konteks kepemilikan, BPJS mirip dengan usaha bersama atau mutual dalam asuransi (seperti halnya AJB Bumi Putera) dimana pemegang polis adalah pemegang saham namun kepesertaannya bersifat wajib. Masyarakat juga lebih mendapatkan akses untuk menyampaikan pendapatnya serta mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Hal tersebut juga telah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 50/PUU-VIII/2010, tanggal 21 November 2011, antara lain mempertimbangkan, “[3.14.3] Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional – yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan yang ditetapkan oleh Undang-Undang adalah sama atau relative sama bagi seluruh peserta karena tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) para anggotanya. Lebih lanjut, apabila melihat ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” maka tujuan dari asuransi sosial adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang layak seluruh rakyat Indonesia. Kebutuhan dasar yang layak pada hakikatnya adalah mempertahankan hidup seseorang, sehingga orang tersebut mampu berproduksi atau berfungsi normal sesuai dengan martabat kemanusiaan. Hal tersebut kemudian yang salah satunya mendasari adanya kewajiban untuk turut serta bagi seluruh rakyat Indonesia, karena apabila pemenuhan kebutuhan dasar tersebut diharapkan secara sukarela (komersial) dengan membeli asuransi maka sebagian besar penduduk tidak mampu atau tidak disiplin untuk membeli asuransi. Karakteristik asuransi sosial yang mengatur paket jaminan/manfaat medis relative sama untuk semua peserta dan iuran yang proporsional terhadap upah, akan memfasilitasi terciptanya keadilan yang merata (equity egaliter) dimana seseorang dijamin mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mengiur sesuai dengan pendapatannya disamping iuran untuk untuk penduduk miskin dan tidak mampu dibayar oleh pemerintah melali program Penerima Iuran Bantuan (PBI). Hal tersebut memungkinkan negara untuk memenuhi hak layanan kesehatan sesuai dengan Pasal 28H UUD 1945. Namun demikian, seseorang yang memiliki penghasilan lebih dan sehingga menginginkan pelayanan kesehatan di luar kebutuhan dasarnya tetap dapat memilih layanan kesehatan yang diinginkan (naik kelas), tentu dengan selisih biaya lebih dari biaya yang menjadi haknya, dan merupakan tanggungan pribadi orang tersebut. Hal tersebut sesuai dengan prinsip equity liberter, yaitu hak layanan kesehatan diperoleh seseorang sesuai dengan bayaran orang tersebut sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UU SJSN.
Baik UU SJSN maupun UU BPJS juga membrikan kesempatan yang sama bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan baik untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak maupun lebih bagi masyarakat yang membutuhkannya. Kata “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 juga mencakup peran serta pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda) dan pihak swasta untuk turut serta mengembangkan system jaminan sosial dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat, terlebih lagi di daerah-daerah penjuru tanah air yang masih belum tersedia fasilitas kesehatan karena pertumbuhan fasilitas kesehatan di daerah telah diserahkan kepada pemda masing-masing, sehingga baik pemda maupun pihak swasta-lah yang akan berespon membangun fasilitas yang memadai dan BPJS akan membayar siapapun yang berobat di fasilitas kesehatan tersebut. Ataupun dalam bentuk asuransi tambahan yang akan memenuhi (meng-cover) kebutuhan dan layanan kesehatan yang melebihi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak. Dengan demikian, semangat konstitusi yang mengamanatkan adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dengan mudah terealisasi dengan adanya kerja sama berbagai pihak khususnya dalam hal ini BPJS dan pihak swasta. Oleh karena itu, BPJS sebagai satu-satunya badan penyelenggara program jaminan sosial harus membuka diri terhadap pihak swasta yang bergerak dalam bidang pelayanan jaminan kesehatan untuk bersinergi dalam mewujudkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
KEPESERTAAN WAJIB
Karakter atau ciri dari layanan kesehatan adalah adanya ketidakpastian (uncertainty) sedangkan di lain pihak, akses terhadap fasilitas serta pelayanan kesehatan yang layak merupakan hak konstitusional warga negara Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan sebuah system asuransi untuk seluruh masyarakat yang bersifat wajib bagi semua penduduk dan system pendanaan public bersumber dari pendapatan umum negara yang berasal dari iuran atau pungutan wajib yang bersifat memaksa. Jika tidak diwajibkan maka yang sakit-sakitan akan membeli asuransi, sementara yang sehat dan masih muda tidak akan membeli asuransi karena tidak merasa memerlukannya, sehingga tidak mungkin tercapai kegotong-royongan antara kelompok kaya-miskin, muda-tua, dan sehat-sakit. Dengan demikian, mewajibkan penduduk untuk ikut serta dalam asuransi sosial adalah dalam rangka untuk memenuhi hak asasi manusia melalui pembiayaan secara kolektif dan sesuai dengan fitrah manusia madani (civil society) yang selalu mengutamakan kepentingan bersama. Begitu pula dalam hal kewajiban membayar iuran yang bersifat proporsional dari upah akan menciptakan subsidi silang dimana yang memiliki upah lebih kecil akan membayar secara nominal lebih kecil, tetapi ketika sakit dan mendapatkan pelayanan kesehatan maka jaminan layanan medis tidak dibedakan dengan yang memiliki upah lebih tinggi.
Pada prinsipnya iuran wajib adalah sama dengan pajak penghasilan (PPh), iuran asuransi sosial disebut juga sebagai pajak jaminan sosial (social security tax). Perbedaannya adalah, PPh bersifat progesif dimana semakin banyak upah yang diterima maka semakin besar pajak yang harus dibayarkan, sedangkan iuran bersifat regresif. Selain itu, PPh menganut system residual, tidak inklusif layanan kesehatan karena penggunaan dananya tidak ditentukan di muka, sedangkan pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk membayar manfaat asuransi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Karena sifatnya yang wajib, sama dengan PPh maka pengelolaan asuransi sosial haruslah dilakukan secara nirlaba sehingga bentuknya harus badan hukum public khusus yaitu BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara program jaminan sosial secara nasional dan memiliki hak yang bersifat memaksa untuk mengumpulkan dana amanat dari seluruh peserta asuransi sosial layaknya kewenangan negara menarik pajak warganya dan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu, setiap orang yang menginginkan pelayanan kesehatan maupun asuransi tambahan tetap dapat memilih layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pribadinya.
Berbeda halnya dengan warga negara yang berprofesi sebagai pekerja, baik swasta maupun sebagai pegawai negeri, kewajiban untuk mendaftarkan dirinya kepada BPJS dibebankan kepada pemberi kerja (perusahaan atau instansi) yang disertai dengan sanksi bagi pemberi kerja yang dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerjanya. Namun demikian, sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2) huruf c, dan ayat (4) UU BPJS tersebut hanya diberikan kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara. Hal demikian bukanlah merupakan bentuk perlakuan diskriminasi antara perusahaan swasta dengan instansi penyelenggara negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengandung pengertian bahwa keadilan bukanlah selalu memperlakukan sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda, sehingga justru tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakuan sama. Demikian pula kata dikriminatif dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008, tanggal 10 Juli 2008 yaitu jika di dalamnya terkandung sifat membeda-bedakan orang yang didasarkan atas agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu lainnya. Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Nomor 065/PUU-II/2004, tanggal 3 Maret 2005, Mahkamah berpendapat pemaknaan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dibaca bersama-sama dengan pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sehingga secara sistematik, HAM tidaklah bersifat mutlak, karenanya dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Oleh karena itu, apabila pasal-pasal terkait sanksi bagi para pemberi kerja swasta tersebut dicabut, malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciptakan ketidakadilan karena akan terjadi situasi dimana pemberi kerja selain penyelenggara negara tidak dapat dikenai sanksi apabila tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS. Padahal suatu kewajiban yang telah dirumuskan menjadi kewajiban hukum akan selalu membutuhkan sanksi untuk dapat menegakkannya secara efektif, keberadaan hak asasi tidak dapat dipisahkan dari adanya kewajiban yang membatasinya. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang  menentukan bahwa materi muatan Undang-Undang dapat memuat ketentuan pidana. Selain itu, dengan dihilangkannya pasal-pasal a quo, lalu apakah mungkin negara yang merupakan badan hukum publik khusus sebagai pemberi kerja bagi para penyelenggara negara akan mendapatkan sanksi dari BPJS apabila  tidak mendaftarkan pekerjanya? Secara logika hal tersebut menjadi tidak masuk akal. 

Senin, 16 Maret 2015

BERHUKUM BERLANDASKAN ETIKA (Membahas Konsepsi Etika Berdasarkan Pancasila Dalam Berhukum)

Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Secara kodrati, manusia dilahirkan dalam keadaan yang berbeda (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis). Perbedaan tersebut kemudian menjadi kompleks, sehingga secara alamiah pula mendorong manusia untuk membentuk jejaring tatanan sosial, bagaimana dan apa pun bentuknya, dalam kerangka inter-relasi manusia sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun psikis). Sering kita mendengarkan adagium “ubi societas ibi jus” (dimana ada masyarakat di situ ada hukumnya) yang secara sederhana berarti manusia adalah mahkluk yang tidak dapat hidup di luar tatanan sosial masyarakat yang mengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap individu manusia dan dinamakan hukum tersebut.
Dalam perkembangannya, hukum menjadi primadona dalam jagat kaidah sosial sebagai pranata pengatur disamping pranata lain yaitu kekuasaan, yang sifat, hubungan dan keberadaan antar keduanya tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, hukum modern yang kita bentuk dan jalani sendiri saat ini dirasakan semakin memperluas jarak antara masyarakat dan hukumnya. Hukum modern yang sarat dengan bentuk formal, prosedur dan birokrasi penyelenggaraan hukum tidak lagi menjadikan setiap orang dapat menjadi operator hukum, melainkan hanya mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan telah menjalani inisiasi formal tertentu. Akibatnya, hukum berubah menjadi institusi buatan dan makin menjauh dari masyarakat. Kita semakin kurang melihat proses hukum sebagai pergulatan manusia untuk memperoleh keadilan, melainkan lebih banyak mengenai pergulatan peraturan, undang-undang dan prosedur. Dalam suatu persidangan misalnya, baik kubu penuntut maupun pembela saling beradu dihadapan majelis hakim dengan menggunakan senjata hukum dan prosedur yang ada. Masalahnya lalu bergeser, bukan untuk membuktikan salah atau tidaknya suatu perbuatan, melainkan apakah prosedur yang ditempuh oleh polisi dan jaksa sudah sesuai dengan hukum atau tidak, sehingga orang yang belum tentu tidak bersalah melakukan suatu kejahatan dapat dipandang tidak bersalah oleh hukum. Belum lagi masalah judicial corruption yang perannya sangat signifikan mendegradasi moralitas aparatur penegak hukum, sehingga menampilkan kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum.
Menengok kembali kepada konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, terdapat suatu basis pemahaman yang umum bahwa sejak negara ini adalah negara hukum maka di negara ini hukumlah yang berkuasa dan orang tidak dapat berbuat semaunya, karena ada hukum. Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana cara dalam berhukumnya? Secara umum, tidak hanya Indonesia, bahkan hampir secara keseluruhan bangsa-bangsa di dunia, yang menyatakan diri sebagai negara hukum. Namun demikian, kita tidak akan menemukan cara yang seragam dalam berhukum, karena masing-masing memilih caranya tersendiri dalam berhukum itu. Perbedaan dalam berhukum ini bukan menunjukkan tingkat kemapanan dalam berhukum antara satu bangsa dengan yang lain, melainkan murni timbul dari ketidaksamaan yang berasal dari akar-akar sosial dan budaya masing-masing sebagai karakteristik kehidupan sosial itu sendiri.
Bangsa Indonesia sendiri bersyukur telah diwarisi Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai karakteristik bangsa Indonesia, tentu termasuk pula cara berhukum khas bangsa Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup yang telah disahkan sebagai dasar ideologi negara adalah merupakan kesatuan utuh nilai-nilai budi pekerti atau moral dan wajib kita jadikan pedoman untuk mengelola kehidupan, termasuk dalam berhukum. Ada beberapa prinsip Pancasila yang perlu kita cermati kembali dalam rangka membenahi penegakan hukum di negeri ini. Pertama, sila kedua Pancasila yang menyatakan, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” secara tersirat memberikan pelajaran bahwa kita sebagai sesama mahkluk Tuhan Yang Maha Esa harus mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang berdasarkan rasa saling mencintai sesama manusia. Hal tersebut sesuai dengan progresivisme hukum yang bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama dan sekaligus sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Progresivisme tidak ingin menjadi hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.
Prof. Satjipto Rahardjo dalam teorinya menjelaskan bahwa hukum tidak pernah dapat melayani manusia apabila ia tidak juga bekerja dengan penuh perasaan dan kepedulian (compassionate). Untuk dapat melayani manusia dengan baik maka hukum tidak dapat hanya menghitung dan mengeja pasal dalam Undang-Undang, melainkan juga bekerja dengan modal empati dan keberanian (dare). Sikap peduli dan empati inilah yang perlu dikuatkan dalam proses penegakan hukum di negara kita, karena dengan dasar sikap tersebut akan terbentuk sikap saling memahami antara aparat penegak hukum dengan masyarakat yang kemudian akan timbul rasa saling percaya (trust). Masyarakat harus dijelaskan mengapa harus ada hukum dan mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka, karena perlu kita renungkan kembali bahwa ternyata kehidupan dapat berjalan tanpa membutuhkan jasa dari apa yang sekarang kita sebut sebagai hukum (modern). Kehidupan masyarakat kita, jauh sebelum hadirnya hukum modern, juga berjalan dengan baik sekalipun tidak berdasar atau menggunakan hukum sebagaimana kita kenal saat ini. Hal tersebut mengingatkan kita pada kritik Van Vollenhoven yang menolak bahwa pada masa kolonialisme tidak ada hukum di Indonesia dengan menyatakan bahwa telah hidup suatu keteraturan di masyarakat yang disebut dengan hukum Adat.
Kita sering mendengar warga masyarakat berkata, ”Kalau kita melapor ke polisi kehilangan sapi, akhirnya kita akan kehilangan sapi dan kambing”. Dengan kata lain, masyarakat tidak percaya bahwa polisi akan melaksanakan tugasnya dengan kompeten dan profesional. Atau peristiwa yang menimpa nenek Asyani yang harus sampai bersujud memohon ampun kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo karena menjadi korban rekayasa oknum polisi dan oknum pegawai Perhutani. Maka dari itu, selain sikap profesionalisme yang tinggi, para aparat penegak hukum harus lebih peduli dan berempati dalam berhukum. Empati dalam penegakan hukum bukan berarti menjadi lembek, namun lebih kepada sikap “berhukum dengan hati” yang memiliki dua ciri yang saling berhubungan, yaitu: (i) setia dalam melaksanakan tugasnya secara profesional dan disiplin serta (ii) peduli (memahami) terhadap, kebutuhan, keprihatinan, dan keinginan masyarakat sesuai dengan hati nuraninya.
Kedua, sila keempat Pancasila secara tersirat mengajarkan kita semua agar selalu mengutamakan musyawarah, termasuk dalam berhukum. Pengertian musyawarah ini lebih dekat dengan model diskursus dalam demokrasi deliberatif ala Jurgen Habermas. Hukum tentu hanya bisa berlaku efektif apabila antara aparat dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan penegakannya. Maka komunikasi hukum sangat diperlukan untuk mengurangi jarak antara masyarakat dengan hukum sekaligus membentuk jaring-jaring komunikasi hukum yang menghubungkan antara rakyat dengan aparat penegak hukum belum. Inilah problem utama dalam reformasi penegakan hukum Indonesia secara fundamental dan paradigmatik. Hukum yang selama ini memiliki watak formal menimbulkan persoalan legalitas, dan hambatan-hambatan yang muncul dari bekerjanya hukum yang legalistik tersebut dapat diatasi apabila, seperti dikatakan oleh Karl Renner; kita bersedia untuk membuka pintu saluran hukum (acces to justice) sehingga hukum mampu mengakomodasi dinamika dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan paradigma aparatur penegak hukum ke arah hukum itu adalah suatu kerangka, yang di dalamnya orang dapat berdiskusi. Sesungguhnya, bangsa kita sudah mengikuti pandangan tersebut, misalnya yang dicontohkan dalam budaya jawa dengan ajakan “ono rembug yo dirembug”, yang artinya kalau ada persoalan, marilah kita bicarakan baik-baik.
Komunikasi hukum yang terjalin secara dua-arah tersebut diharapkan dapat membentuk pola kerjasama dalam proses penegakan hukum antara hukum dengan masyarakat. Selain itu, pola penegakan hukum yang lebih komunikatif secara tidak langsung juga mewajibkan kepada aparatur penegak hukum untuk lebih transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugasnya, sehingga publik dapat menggunakan hak-nya untuk memantau dan mengamati perilaku aparatur penegak hukum serta mengajukan keberatan bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak publik, karena partisipasi masyarakat tidak dapat terlaksana tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas akan sulit terlaksana tanpa pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum. Dengan demikian, maka potensi penyimpangan dapat diminimalisir serta mempercepat upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sehingga dapat integritas aparatur penegak hukum di Indonesia semakin meningkat dan kepercayaan masyarakat (public trust) akan semakin menguat.

Ketiga, penegakan hukum (law enforcement) sebagai sebuah sistem pasti tidak dapat dilepaskan dari adanya harmonisasi yang meliputi keterhubungan (connection), ketergantungan (dependence), dan keterpaduan (integration) antar komponen didalamnya yang mengarah, berorientasi pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan yaitu untuk memenuhi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bagian dari suatu sistem maka institusi-institusi penegak hukum yang ada seharusnya membangun sinergisitas dalam menegakkan peraturan dan rasa keadilan masyarakat, bukan malah saling menonjolkan ego sektoral bahkan terkesan saling mendegradasi dan mengalahkan satu sama lain. Hal tersebut malah akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya tujuan dari sistem penegakan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, melalui harmonisasi sistem penegakan hukum, akan terbentuk sistem yang mengakomodir tuntutan akan kepastian hukum, terwujudnya keadilan serta menghindari tumpang tindih kewenangan masing-masing institusi penegak hukum sehingga hukum benar-benar bermanfaat dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

KONSTITUSIONALITAS PEMBENTUKAN LEMBAGA/BADAN PEMERINTAHAN DENGAN PERATURAN PRESIDEN

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan memegang kekuasaan pemerintahan negara. Dengan demikian, Presiden memiliki tugas dan tanggung jawab konstitusional untuk menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Dengan beban tugas yang berat tersebut kemudian konstitusi memberikan sebuah desain “pembantu Presiden” dalam melaksanakan tugasnya yang secara eksplisit menentukan bahwa Wakil Presiden [Pasal 4 ayat (2)] dan Menteri [Pasal 17 ayat (1)] yang memiliki tugas membantu presiden dalam pemerintahan yang kemudian sering disebut dengan lembaga pemerintahan dalam kerangka sistem presidensial. Dengan adanya lembaga penyelenggara pemerintahan tersebut maka sebenarnya konstitusi mendesain agar tugas-tugas pemerintahan yang ada dan besar tersebut akan terbagi habis kepada 2 (dua) entitas lembaga penyelenggara pemerintahan di atas berdasarkan asas pembagian tugas. Namun demikian, berkembangnya masyarakat baik dari sudut pertambahan penduduk, ekonomi, pendidikan, kesehatan di satu pihak dan kemampuan Negara untuk memenuhi harapan masyarakat terutama di bidang ekonomi serta keamanan di lain pihak akan menimbulkan ledakan harapan masyarakat dan kebutuhan masyarakat yang dalam sistem presidensial tersebut, maka stigma masyrakat pasti mengarah pada Presiden-lah yang tidak mampu melaksanakan tugasnya. Oleh karena Presidenlah yang dapat mengukur tingkat beban kerja yang harus diembannya serta dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat maka Presiden berhak membentuk suatu lembaga atau badan lain dalam bidang pemerintahan.
Mahkamah konstitusi dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011, bertanggal 5 Juni 2012,  juga pernah mempertimbangkan bahwa dalam rangka melaksanakan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka keberadaan atau pembentukan suatu lembaga negara yang tidak secara tegas dicantumkan dalam UUD 1945, dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Mahkamah konstitusi juga mempertimbangkan bahwa UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuanketentuan lain di dalam UUD 1945.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana jika pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pemerintahan yang tidak disebutkan dalam UUD 1945 tersebut adalah hanya menggunakan “baju” Peraturan Presiden?
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Preaturan Perundang-Undangan sebagai landasan yang memuat tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia memang memberikan derajad Peraturan Presiden adalah lebih rendah ketimbang Undang-Undang. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang menempatkan Undang-Undang pada urutan ketiga dan Peraturan Presiden pada urutan kelima dan memberikan konsekuensi bahwa Undang-Undang memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan Peraturan Presiden. Namun demikian, dalam konteks kekuasaan pemerintahan, Undang-Undang a quo juga sejalan dengan penguatan prinsip presidensiil sebagaimana telah dijlaskan sebelumnya di atas. Diakomodasinya penguatan atas prinsip tersebut dalam dilihat dalam Pasal 1 angka 6 yang menyatakan, “Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Hal tersebut kemudian dikuatkan lagi berdasarkan Pasal 13 yang menyatakan, “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan”.

Penggunaan kata “atau” dalam kedua pasal mengenai Peraturan Presiden tersebut memberikan pengertian bahwa Undang-Undang a quo memberikan alternatif bagi pelaksanaan hak prerogatif Presiden sebagaimana dalam sistem presidensiil. Karena dalam desain konstitusi kita sendiri, kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan bagi Presiden lebih besar ketimbang 2 (dua) cabang kekuasaan lainnya (yudikatif dan legislatif) karena menguasai 3 (tiga) dari 7 (tujuh) jenis peraturan perundang-undangan yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU); (ii) Peraturan Pemerintah (PP); dan (iii) Peraturan Presiden (Perpres). Pemberian kekuasaan tersebut adalah konsekuensi dari pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan sistem presidensial dan telah dijamin dalam UUD 1945.
Namun demikian, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang besar tersebut tetap harus tunduk kepada konstitusi sebagai bentuk supremacy of law sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pasca perubahan UUD 1945 yang merupakan salah satu agenda reformasi tahun 1998, pembatasan terhadap kekuasaan Presiden terlihat sangat kental dengan memperkuat prinsip pembagian kekuasaan serta checks and balances. Dalam konteks kekuasaan Presiden untuk membentuk sebuah lembaga/badan pemerintahan maka secara substansi, adanya lembaga/badan yang baru tersebut harus didasarkan pada adanya urusan pemerintahan baru yang memang belum ada lembaga/badan yang mengurusinya. Dengan perkataan lain, kewenangan yang akan diberikan kepada lembaga/badan pemerintahan yang baru tersebut tidak boleh tumpang tindih apalagi bertentangan dengan kewenangan yang telah dimiliki oleh lembaga/badan pemerintahan yang sudah ada. Mengapa demikian? Desain konstitusi yang memberikan kewenangan untuk memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara kepada Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian bahwa dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara haruslah seimbang dan jelas (tidak redundant), sehingga apabila terdapat kewenangan yang saling tumpang tindih bahkan bertentangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Dengan demikian, pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pemerintahan yang tidak disebutkan dalam UUD 1945 dengan menggunakan instrumen Peraturan Presiden adalah dalam rangka menjalankan kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden dan tidak bertentangan dengan konsitusi sepanjang tidak terdapat tumpang tindih kewenangan dengan lembaga/badan yang sudah ada.