Latar belakang positivisme hukum
1.
Sebagaimana sejarah perkembangan filsafat, positivisme
lahir bersamaan dengan berkembangnya pendayagunaan akal manusia (rasio),
mengingat pada era sebelumnya sangat didominasi oleh kekuasaan keilahian. Pada
masa itu, segala sesuatu (fenomena) yang terjadi di sekitar kita dijelaskan
dengan menggunakan pendekatan keilahian (alam) yang berbasis pada keyakinan,
bukan berbasis pada pembuktian. Pengaruh pemikiran yang demikian itu seiring
dengan menguatnya dominasi pemuka-pemuka agama (gereja) pada abad pertengahan.
Dapat sama-sama kita bayangkan, ketika nilai-nilai yang dikatakan ‘paling
benar’ dan ‘paling adil’ adalah yang sesuai dengan ajaran agama dan hanya para
kaum alim ulama saja yang dapat menginterpretasikannya, maka peran alim ulama
kala itu menjadi sangat dominan.
2. Kemudian setelah hampir seribu tahun mendominasi, para
ahli hukum di negara-negara kota mulai menentang dominasi pengaruh gereja,
khususnya dalam persoalan negara. Seiring dengan perlawanan tersebut,
argumentasi-argumentasi pada zaman ini mulai mengarah pada basis nilai atau
ajaran yang bersumber pada pikiran manusia (rasional), inilah yang menjadi
cikal bakal (permulaan) era Renaissance.
Pada era (Renaissance) ini, sangat
kental akan tuntutan kebenaran faktual yang mendasarkan pada rasionalitas,
sehingga sejak abad (16) ini, olah pikir manusia mulai membebaskan diri dari
patron keagamaan dan beralih pada pengamatan, eksperimen, dan verifikasi secara
empiris, sehingga segala sesuatu untuk dikatakan ‘ada’ (riil) harus dapat
dibuktikan dan diukur secara empiris.
3. Perkembangan rasionalisme dan empirisme sebagai produk
pemikiran era Renaissance yang
merupakan cikal bakal positivisme ini mencapai puncaknya di abad 19, khususnya
ketika para ‘dedengkot’ (ilmuan eksakta - ilmu pengetahuan alam) penganut positivisme
yang diketuai oleh seorang ilmuan bernama Moritz Schlick mengadakan pertemuan di sebuah
kedai kopi di sekitaran Universitas Wina pada tahun 1922. Tujuan dari pertemuan
tersebut adalah untuk mendesain struktur ilmu pengetahuan yang terpadu dengan
meletakkan positivisme sebagai satu-satunya cara berpikir yang ilmiah. Pasca
lingkaran wina tersebut, maka sesuatunya dapat dikatakan sebagai ilmu apabila
dapat dibuktikan dengan metode yang rasional melalui sebuah verifikasi empiris.
Pola berpikir ini kemudian turut ‘menjangkit’ para pemikir di bidang ilmu-ilmu
sosial, termasuk hukum, sehingga membentuk ilmu-ilmu sosial berdasarkan paham
rasional dan empirisme yang awalnya berakar pada ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Dalam konteks ilmu hukum, pemikiran positivisme ini akhirnya melahirkan apa
yang kita sebut sebagai hukum positif. Kata ‘positif’ dalam konteks ini memang
merupakan lawan dari kata ‘negatif’, namun dalam pemahaman positif berarti
‘ada’, ‘nyata’ atau ‘pasti’, sedangkan negatif berarti ‘abstrak’, ‘tidak riil’.
Oleh karenanya, pandangan hukum positif ini memandang perlu adanya pembedaaan
atau pemisahan yang tegas antara hukum (positif = konkret) dengan nilai-nilai
moral (negatif = abstrak).
Hukum menurut paradigma postivisme
4. Dengan demikian, dalam pandangan kaum positivisme,
hukum merupakan (i) seperangkat ketentuan tertulis (yang wujudnya konkret
berupa pasal, ayat, frasa, maupun kata dalam berbagai peraturan
perundang-undangan); (ii) yang dikeluarkan oleh lembaga/organ/bahkan orang yang
memang berwenang; (iii) yang isinya mengandung perintah (untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu); (iv) dan oleh karenanya sangat menjunjung tinggi
nilai kepastian; serta (v) menolak keberadaan hukum alam yang dianggap abstrak
dan bersifat hipotesis karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
5. Dalam perkembangan ilmu hukum positif, ada 3 (tiga)
tokoh sentral yang ‘wajib dikenal’ atas sumbangan pemikirannya.
Pertama, John Austin yang merupakan ahli
hukum dari Britania. Austin inilah yang pertama kali memperkenalkan
‘positivisme hukum’. Menurutnya, hukum haruslah mengandung 3 (tiga) karakter,
yaitu: (i) hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat; (ii) perintah
tersebut disertai sanksi; dan (iii) otoritas yang mengeluarkan hukum tersebut
tidak tunduk pada siapapun (termasuk alam maupun Tuhan) tetapi ditaati
masyarakat. Pemikiran tentang hukum yang demikian disebut dengan analytical jurisprudence.
Kedua, Hans Kelsen yang sangat dikenal
dengan The Pure of Law nya. Bagi
Kelsen, hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada
keharusan-keharusan (das sollen) yang
memang dikehendaki menjadi sebuah norma yang akan mengikat masyarakat. Sistem
hukum menurut Kelsen, digambarkan dalam bentuk piramida (hierarkis) yang
dikenal dengan stufenbau theorie atau
tata urutan (hierarki) norma. Artinya, semakin tinggi norma akan semakin
abstrak sifatnya dan norma hukum yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang
tertinggi yang disebut sebagai norma dasar (grundnorm)
yang kemudian teori ini dikembangkan oleh salah satu muridnya, Hans Nawiasky.
Ketiga, H.L.A. Hart yang menganggap
bahwa positivisme hukum mengandung ajaran sebagai berikut: (i) hukum adalah
perintah penguasa (sebagaimana pandangan Austin); (ii) aturan hukum itu bukan
mengenai nilai baik atau buruk (sebagaimana pandangan Kelsen); dan (iii) sistem
hukum merupakan logika yang tertutup dan diberlakukan secara deduktif pada
kenyataan (bersifat interdeterminan) tanpa harus ada ‘bimbingan’ norma sosial,
politik, bahkan moral.
Pustaka
- Lili Rasjidi, Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, 2007, Jakarta: Citra Aditya
- Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, 2013, Jakarta: Rajawali Pers