Rabu, 28 September 2016

Sekedip perihal 'Positivisme Hukum'

Latar belakang positivisme hukum

1.    Sebagaimana sejarah perkembangan filsafat, positivisme lahir bersamaan dengan berkembangnya pendayagunaan akal manusia (rasio), mengingat pada era sebelumnya sangat didominasi oleh kekuasaan keilahian. Pada masa itu, segala sesuatu (fenomena) yang terjadi di sekitar kita dijelaskan dengan menggunakan pendekatan keilahian (alam) yang berbasis pada keyakinan, bukan berbasis pada pembuktian. Pengaruh pemikiran yang demikian itu seiring dengan menguatnya dominasi pemuka-pemuka agama (gereja) pada abad pertengahan. Dapat sama-sama kita bayangkan, ketika nilai-nilai yang dikatakan ‘paling benar’ dan ‘paling adil’ adalah yang sesuai dengan ajaran agama dan hanya para kaum alim ulama saja yang dapat menginterpretasikannya, maka peran alim ulama kala itu menjadi sangat dominan.

2.   Kemudian setelah hampir seribu tahun mendominasi, para ahli hukum di negara-negara kota mulai menentang dominasi pengaruh gereja, khususnya dalam persoalan negara. Seiring dengan perlawanan tersebut, argumentasi-argumentasi pada zaman ini mulai mengarah pada basis nilai atau ajaran yang bersumber pada pikiran manusia (rasional), inilah yang menjadi cikal bakal (permulaan) era Renaissance. Pada era (Renaissance) ini, sangat kental akan tuntutan kebenaran faktual yang mendasarkan pada rasionalitas, sehingga sejak abad (16) ini, olah pikir manusia mulai membebaskan diri dari patron keagamaan dan beralih pada pengamatan, eksperimen, dan verifikasi secara empiris, sehingga segala sesuatu untuk dikatakan ‘ada’ (riil) harus dapat dibuktikan dan diukur secara empiris.

3.  Perkembangan rasionalisme dan empirisme sebagai produk pemikiran era Renaissance yang merupakan cikal bakal positivisme ini mencapai puncaknya di abad 19, khususnya ketika para ‘dedengkot’ (ilmuan eksakta - ilmu pengetahuan alam) penganut positivisme yang diketuai oleh seorang ilmuan bernama Moritz Schlick mengadakan pertemuan di sebuah kedai kopi di sekitaran Universitas Wina pada tahun 1922. Tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk mendesain struktur ilmu pengetahuan yang terpadu dengan meletakkan positivisme sebagai satu-satunya cara berpikir yang ilmiah. Pasca lingkaran wina tersebut, maka sesuatunya dapat dikatakan sebagai ilmu apabila dapat dibuktikan dengan metode yang rasional melalui sebuah verifikasi empiris. Pola berpikir ini kemudian turut ‘menjangkit’ para pemikir di bidang ilmu-ilmu sosial, termasuk hukum, sehingga membentuk ilmu-ilmu sosial berdasarkan paham rasional dan empirisme yang awalnya berakar pada ilmu-ilmu pengetahuan alam. Dalam konteks ilmu hukum, pemikiran positivisme ini akhirnya melahirkan apa yang kita sebut sebagai hukum positif. Kata ‘positif’ dalam konteks ini memang merupakan lawan dari kata ‘negatif’, namun dalam pemahaman positif berarti ‘ada’, ‘nyata’ atau ‘pasti’, sedangkan negatif berarti ‘abstrak’, ‘tidak riil’. Oleh karenanya, pandangan hukum positif ini memandang perlu adanya pembedaaan atau pemisahan yang tegas antara hukum (positif = konkret) dengan nilai-nilai moral (negatif = abstrak).

Hukum menurut paradigma postivisme


4.  Dengan demikian, dalam pandangan kaum positivisme, hukum merupakan (i) seperangkat ketentuan tertulis (yang wujudnya konkret berupa pasal, ayat, frasa, maupun kata dalam berbagai peraturan perundang-undangan); (ii) yang dikeluarkan oleh lembaga/organ/bahkan orang yang memang berwenang; (iii) yang isinya mengandung perintah (untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu); (iv) dan oleh karenanya sangat menjunjung tinggi nilai kepastian; serta (v) menolak keberadaan hukum alam yang dianggap abstrak dan bersifat hipotesis karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

5.   Dalam perkembangan ilmu hukum positif, ada 3 (tiga) tokoh sentral yang ‘wajib dikenal’ atas sumbangan pemikirannya.

Pertama, John Austin yang merupakan ahli hukum dari Britania. Austin inilah yang pertama kali memperkenalkan ‘positivisme hukum’. Menurutnya, hukum haruslah mengandung 3 (tiga) karakter, yaitu: (i) hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat; (ii) perintah tersebut disertai sanksi; dan (iii) otoritas yang mengeluarkan hukum tersebut tidak tunduk pada siapapun (termasuk alam maupun Tuhan) tetapi ditaati masyarakat. Pemikiran tentang hukum yang demikian disebut dengan analytical jurisprudence.

Kedua, Hans Kelsen yang sangat dikenal dengan The Pure of Law nya. Bagi Kelsen, hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-keharusan (das sollen) yang memang dikehendaki menjadi sebuah norma yang akan mengikat masyarakat. Sistem hukum menurut Kelsen, digambarkan dalam bentuk piramida (hierarkis) yang dikenal dengan stufenbau theorie atau tata urutan (hierarki) norma. Artinya, semakin tinggi norma akan semakin abstrak sifatnya dan norma hukum yang di bawah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut sebagai norma dasar (grundnorm) yang kemudian teori ini dikembangkan oleh salah satu muridnya, Hans Nawiasky.

Ketiga, H.L.A. Hart yang menganggap bahwa positivisme hukum mengandung ajaran sebagai berikut: (i) hukum adalah perintah penguasa (sebagaimana pandangan Austin); (ii) aturan hukum itu bukan mengenai nilai baik atau buruk (sebagaimana pandangan Kelsen); dan (iii) sistem hukum merupakan logika yang tertutup dan diberlakukan secara deduktif pada kenyataan (bersifat interdeterminan) tanpa harus ada ‘bimbingan’ norma sosial, politik, bahkan moral.

Pustaka

  • Lili Rasjidi, Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, 2007, Jakarta: Citra Aditya
  • Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, 2013, Jakarta: Rajawali Pers