Manusia dan hukum adalah dua entitas yang
tidak dapat dipisahkan. Secara kodrati, manusia dilahirkan dalam keadaan yang
berbeda (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis,
maupun ekonomis). Perbedaan tersebut kemudian menjadi kompleks, sehingga secara
alamiah pula mendorong manusia untuk membentuk jejaring tatanan sosial, bagaimana
dan apa pun bentuknya, dalam kerangka inter-relasi manusia sebagai usaha
pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun psikis). Sering kita
mendengarkan adagium “ubi societas ibi
jus” (dimana ada masyarakat di situ ada hukumnya) yang secara sederhana
berarti manusia adalah mahkluk yang tidak dapat hidup di luar tatanan sosial
masyarakat yang mengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap individu
manusia dan dinamakan hukum tersebut.
Dalam perkembangannya, hukum menjadi
primadona dalam jagat kaidah sosial sebagai pranata pengatur disamping pranata
lain yaitu kekuasaan, yang sifat, hubungan dan keberadaan antar keduanya tidak
dapat dipisahkan. Namun demikian, hukum modern yang kita bentuk dan jalani
sendiri saat ini dirasakan semakin memperluas jarak antara masyarakat dan
hukumnya. Hukum modern yang sarat dengan bentuk formal, prosedur dan birokrasi
penyelenggaraan hukum tidak lagi menjadikan setiap orang dapat menjadi operator
hukum, melainkan hanya mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan telah
menjalani inisiasi formal tertentu. Akibatnya, hukum berubah menjadi institusi buatan
dan makin menjauh dari masyarakat. Kita semakin kurang melihat proses hukum
sebagai pergulatan manusia untuk memperoleh keadilan, melainkan lebih banyak
mengenai pergulatan peraturan, undang-undang dan prosedur. Dalam suatu
persidangan misalnya, baik kubu penuntut maupun pembela saling beradu dihadapan
majelis hakim dengan menggunakan senjata hukum dan prosedur yang ada. Masalahnya
lalu bergeser, bukan untuk membuktikan salah atau tidaknya suatu perbuatan,
melainkan apakah prosedur yang ditempuh oleh polisi dan jaksa sudah sesuai
dengan hukum atau tidak, sehingga orang yang belum tentu tidak bersalah
melakukan suatu kejahatan dapat dipandang tidak bersalah oleh hukum. Belum lagi
masalah judicial corruption yang perannya
sangat signifikan mendegradasi moralitas aparatur penegak hukum, sehingga
menampilkan kondisi ketidakmampuan (unability)
dan ketidakmauan (unwillingness) dari
aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum.
Menengok kembali kepada konstitusi yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, terdapat suatu
basis pemahaman yang umum bahwa sejak negara ini adalah negara hukum maka di
negara ini hukumlah yang berkuasa dan orang tidak dapat berbuat semaunya,
karena ada hukum. Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana cara dalam berhukumnya?
Secara umum, tidak hanya Indonesia, bahkan hampir secara keseluruhan
bangsa-bangsa di dunia, yang menyatakan diri sebagai negara hukum. Namun
demikian, kita tidak akan menemukan cara yang seragam dalam berhukum, karena
masing-masing memilih caranya tersendiri dalam berhukum itu. Perbedaan dalam
berhukum ini bukan menunjukkan tingkat kemapanan dalam berhukum antara satu
bangsa dengan yang lain, melainkan murni timbul dari ketidaksamaan yang berasal
dari akar-akar sosial dan budaya masing-masing sebagai karakteristik kehidupan
sosial itu sendiri.
Bangsa Indonesia sendiri bersyukur telah
diwarisi Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai karakteristik bangsa
Indonesia, tentu termasuk pula cara berhukum khas bangsa Indonesia. Pancasila sebagai
pandangan hidup yang telah disahkan sebagai dasar ideologi negara adalah
merupakan kesatuan utuh nilai-nilai budi pekerti atau moral dan wajib kita
jadikan pedoman untuk mengelola kehidupan, termasuk dalam berhukum. Ada
beberapa prinsip Pancasila yang perlu kita cermati kembali dalam rangka
membenahi penegakan hukum di negeri ini. Pertama,
sila kedua Pancasila yang menyatakan, “Kemanusiaan
yang adil dan beradab” secara tersirat memberikan pelajaran bahwa kita
sebagai sesama mahkluk Tuhan Yang Maha Esa harus mengakui dan memperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang berdasarkan rasa saling
mencintai sesama manusia. Hal tersebut sesuai dengan progresivisme hukum yang bertolak dari pandangan
kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat
kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama dan sekaligus sebagai modal
penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Progresivisme
tidak ingin menjadi hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan
suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.
Prof. Satjipto Rahardjo dalam teorinya
menjelaskan bahwa hukum tidak pernah dapat melayani manusia apabila ia tidak
juga bekerja dengan penuh perasaan dan kepedulian (compassionate). Untuk dapat melayani manusia dengan baik maka hukum
tidak dapat hanya menghitung dan mengeja pasal dalam Undang-Undang, melainkan
juga bekerja dengan modal empati dan keberanian (dare). Sikap peduli dan empati inilah yang perlu dikuatkan dalam
proses penegakan hukum di negara kita, karena dengan dasar sikap tersebut akan
terbentuk sikap saling memahami antara aparat penegak hukum dengan masyarakat
yang kemudian akan timbul rasa saling percaya (trust). Masyarakat harus dijelaskan mengapa harus ada hukum dan
mengapa hukum harus berbuat begini
atau begitu kepada mereka, karena perlu kita renungkan kembali
bahwa ternyata kehidupan dapat berjalan tanpa membutuhkan jasa dari apa yang
sekarang kita sebut sebagai hukum (modern). Kehidupan masyarakat kita, jauh
sebelum hadirnya hukum modern, juga berjalan dengan baik sekalipun tidak
berdasar atau menggunakan hukum sebagaimana kita kenal saat ini. Hal tersebut
mengingatkan kita pada kritik Van Vollenhoven yang menolak bahwa pada masa
kolonialisme tidak ada hukum di Indonesia dengan menyatakan bahwa telah hidup
suatu keteraturan di masyarakat yang disebut dengan hukum Adat.
Kita sering mendengar warga masyarakat
berkata, ”Kalau kita melapor ke polisi
kehilangan sapi, akhirnya kita akan kehilangan sapi dan kambing”. Dengan
kata lain, masyarakat tidak percaya bahwa polisi akan melaksanakan tugasnya
dengan kompeten dan profesional. Atau peristiwa yang menimpa nenek Asyani yang harus
sampai bersujud memohon ampun kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo
karena menjadi korban rekayasa oknum polisi dan
oknum pegawai Perhutani. Maka dari itu, selain sikap profesionalisme yang
tinggi, para aparat penegak hukum harus lebih peduli dan berempati dalam
berhukum. Empati dalam penegakan hukum bukan berarti menjadi lembek, namun lebih
kepada sikap “berhukum dengan hati” yang memiliki dua ciri yang saling
berhubungan, yaitu: (i) setia dalam melaksanakan tugasnya secara profesional
dan disiplin serta (ii) peduli (memahami) terhadap, kebutuhan, keprihatinan,
dan keinginan masyarakat sesuai dengan hati nuraninya.
Kedua,
sila keempat Pancasila secara tersirat mengajarkan kita semua agar selalu mengutamakan
musyawarah, termasuk dalam berhukum. Pengertian musyawarah ini lebih dekat
dengan model diskursus dalam demokrasi deliberatif ala Jurgen Habermas. Hukum
tentu hanya bisa berlaku efektif apabila antara aparat dan rakyat terjalin
pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan penegakannya. Maka komunikasi hukum
sangat diperlukan untuk mengurangi jarak antara masyarakat dengan hukum
sekaligus membentuk jaring-jaring komunikasi hukum yang
menghubungkan antara rakyat dengan aparat penegak hukum belum. Inilah problem
utama dalam reformasi penegakan hukum Indonesia secara fundamental dan
paradigmatik. Hukum yang selama ini memiliki watak formal menimbulkan persoalan
legalitas, dan hambatan-hambatan yang muncul dari bekerjanya hukum yang
legalistik tersebut dapat diatasi apabila, seperti dikatakan oleh Karl Renner; kita
bersedia untuk membuka pintu saluran hukum (acces
to justice) sehingga hukum mampu mengakomodasi dinamika dalam masyarakat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan paradigma aparatur penegak hukum ke
arah hukum itu adalah suatu kerangka, yang di dalamnya orang dapat berdiskusi.
Sesungguhnya, bangsa kita sudah mengikuti pandangan tersebut, misalnya yang
dicontohkan dalam budaya jawa dengan ajakan “ono rembug yo dirembug”, yang artinya kalau ada persoalan, marilah
kita bicarakan baik-baik.
Komunikasi hukum yang terjalin secara
dua-arah tersebut diharapkan dapat membentuk pola kerjasama dalam proses
penegakan hukum antara hukum dengan masyarakat. Selain itu, pola penegakan
hukum yang lebih komunikatif secara tidak langsung juga mewajibkan kepada
aparatur penegak hukum untuk lebih transparan dan akuntabel dalam melaksanakan
tugasnya, sehingga publik dapat menggunakan hak-nya untuk memantau dan
mengamati perilaku aparatur penegak hukum serta mengajukan keberatan bila
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak publik, karena partisipasi masyarakat
tidak dapat terlaksana tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas akan sulit
terlaksana tanpa pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam proses penegakan
hukum. Dengan demikian, maka potensi penyimpangan dapat diminimalisir serta mempercepat
upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sehingga
dapat integritas aparatur penegak hukum di Indonesia semakin meningkat dan
kepercayaan masyarakat (public trust)
akan semakin menguat.
Ketiga, penegakan
hukum (law enforcement) sebagai
sebuah sistem pasti tidak dapat dilepaskan dari adanya harmonisasi yang meliputi
keterhubungan (connection),
ketergantungan (dependence), dan
keterpaduan (integration) antar
komponen didalamnya yang mengarah, berorientasi pada pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan yaitu untuk memenuhi keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bagian dari suatu sistem maka
institusi-institusi penegak hukum yang ada seharusnya membangun sinergisitas
dalam menegakkan peraturan dan rasa keadilan masyarakat, bukan malah saling menonjolkan
ego sektoral bahkan terkesan saling mendegradasi dan mengalahkan satu sama
lain. Hal tersebut malah akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) yang pada akhirnya akan
menghambat tercapainya tujuan dari sistem penegakan hukum itu sendiri. Oleh
karena itu, melalui harmonisasi sistem penegakan
hukum, akan terbentuk sistem yang mengakomodir tuntutan akan kepastian hukum,
terwujudnya keadilan serta menghindari tumpang tindih kewenangan masing-masing
institusi penegak hukum sehingga hukum benar-benar bermanfaat dalam mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.