Senin, 16 Maret 2015

BERHUKUM BERLANDASKAN ETIKA (Membahas Konsepsi Etika Berdasarkan Pancasila Dalam Berhukum)

Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Secara kodrati, manusia dilahirkan dalam keadaan yang berbeda (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis). Perbedaan tersebut kemudian menjadi kompleks, sehingga secara alamiah pula mendorong manusia untuk membentuk jejaring tatanan sosial, bagaimana dan apa pun bentuknya, dalam kerangka inter-relasi manusia sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun psikis). Sering kita mendengarkan adagium “ubi societas ibi jus” (dimana ada masyarakat di situ ada hukumnya) yang secara sederhana berarti manusia adalah mahkluk yang tidak dapat hidup di luar tatanan sosial masyarakat yang mengatur keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap individu manusia dan dinamakan hukum tersebut.
Dalam perkembangannya, hukum menjadi primadona dalam jagat kaidah sosial sebagai pranata pengatur disamping pranata lain yaitu kekuasaan, yang sifat, hubungan dan keberadaan antar keduanya tidak dapat dipisahkan. Namun demikian, hukum modern yang kita bentuk dan jalani sendiri saat ini dirasakan semakin memperluas jarak antara masyarakat dan hukumnya. Hukum modern yang sarat dengan bentuk formal, prosedur dan birokrasi penyelenggaraan hukum tidak lagi menjadikan setiap orang dapat menjadi operator hukum, melainkan hanya mereka yang memiliki kualifikasi khusus dan telah menjalani inisiasi formal tertentu. Akibatnya, hukum berubah menjadi institusi buatan dan makin menjauh dari masyarakat. Kita semakin kurang melihat proses hukum sebagai pergulatan manusia untuk memperoleh keadilan, melainkan lebih banyak mengenai pergulatan peraturan, undang-undang dan prosedur. Dalam suatu persidangan misalnya, baik kubu penuntut maupun pembela saling beradu dihadapan majelis hakim dengan menggunakan senjata hukum dan prosedur yang ada. Masalahnya lalu bergeser, bukan untuk membuktikan salah atau tidaknya suatu perbuatan, melainkan apakah prosedur yang ditempuh oleh polisi dan jaksa sudah sesuai dengan hukum atau tidak, sehingga orang yang belum tentu tidak bersalah melakukan suatu kejahatan dapat dipandang tidak bersalah oleh hukum. Belum lagi masalah judicial corruption yang perannya sangat signifikan mendegradasi moralitas aparatur penegak hukum, sehingga menampilkan kondisi ketidakmampuan (unability) dan ketidakmauan (unwillingness) dari aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum.
Menengok kembali kepada konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, terdapat suatu basis pemahaman yang umum bahwa sejak negara ini adalah negara hukum maka di negara ini hukumlah yang berkuasa dan orang tidak dapat berbuat semaunya, karena ada hukum. Pertanyaan kemudian adalah, bagaimana cara dalam berhukumnya? Secara umum, tidak hanya Indonesia, bahkan hampir secara keseluruhan bangsa-bangsa di dunia, yang menyatakan diri sebagai negara hukum. Namun demikian, kita tidak akan menemukan cara yang seragam dalam berhukum, karena masing-masing memilih caranya tersendiri dalam berhukum itu. Perbedaan dalam berhukum ini bukan menunjukkan tingkat kemapanan dalam berhukum antara satu bangsa dengan yang lain, melainkan murni timbul dari ketidaksamaan yang berasal dari akar-akar sosial dan budaya masing-masing sebagai karakteristik kehidupan sosial itu sendiri.
Bangsa Indonesia sendiri bersyukur telah diwarisi Pancasila yang merupakan kristalisasi nilai karakteristik bangsa Indonesia, tentu termasuk pula cara berhukum khas bangsa Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup yang telah disahkan sebagai dasar ideologi negara adalah merupakan kesatuan utuh nilai-nilai budi pekerti atau moral dan wajib kita jadikan pedoman untuk mengelola kehidupan, termasuk dalam berhukum. Ada beberapa prinsip Pancasila yang perlu kita cermati kembali dalam rangka membenahi penegakan hukum di negeri ini. Pertama, sila kedua Pancasila yang menyatakan, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” secara tersirat memberikan pelajaran bahwa kita sebagai sesama mahkluk Tuhan Yang Maha Esa harus mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang berdasarkan rasa saling mencintai sesama manusia. Hal tersebut sesuai dengan progresivisme hukum yang bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama dan sekaligus sebagai modal penting bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Progresivisme tidak ingin menjadi hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.
Prof. Satjipto Rahardjo dalam teorinya menjelaskan bahwa hukum tidak pernah dapat melayani manusia apabila ia tidak juga bekerja dengan penuh perasaan dan kepedulian (compassionate). Untuk dapat melayani manusia dengan baik maka hukum tidak dapat hanya menghitung dan mengeja pasal dalam Undang-Undang, melainkan juga bekerja dengan modal empati dan keberanian (dare). Sikap peduli dan empati inilah yang perlu dikuatkan dalam proses penegakan hukum di negara kita, karena dengan dasar sikap tersebut akan terbentuk sikap saling memahami antara aparat penegak hukum dengan masyarakat yang kemudian akan timbul rasa saling percaya (trust). Masyarakat harus dijelaskan mengapa harus ada hukum dan mengapa hukum harus berbuat begini atau begitu kepada mereka, karena perlu kita renungkan kembali bahwa ternyata kehidupan dapat berjalan tanpa membutuhkan jasa dari apa yang sekarang kita sebut sebagai hukum (modern). Kehidupan masyarakat kita, jauh sebelum hadirnya hukum modern, juga berjalan dengan baik sekalipun tidak berdasar atau menggunakan hukum sebagaimana kita kenal saat ini. Hal tersebut mengingatkan kita pada kritik Van Vollenhoven yang menolak bahwa pada masa kolonialisme tidak ada hukum di Indonesia dengan menyatakan bahwa telah hidup suatu keteraturan di masyarakat yang disebut dengan hukum Adat.
Kita sering mendengar warga masyarakat berkata, ”Kalau kita melapor ke polisi kehilangan sapi, akhirnya kita akan kehilangan sapi dan kambing”. Dengan kata lain, masyarakat tidak percaya bahwa polisi akan melaksanakan tugasnya dengan kompeten dan profesional. Atau peristiwa yang menimpa nenek Asyani yang harus sampai bersujud memohon ampun kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Situbondo karena menjadi korban rekayasa oknum polisi dan oknum pegawai Perhutani. Maka dari itu, selain sikap profesionalisme yang tinggi, para aparat penegak hukum harus lebih peduli dan berempati dalam berhukum. Empati dalam penegakan hukum bukan berarti menjadi lembek, namun lebih kepada sikap “berhukum dengan hati” yang memiliki dua ciri yang saling berhubungan, yaitu: (i) setia dalam melaksanakan tugasnya secara profesional dan disiplin serta (ii) peduli (memahami) terhadap, kebutuhan, keprihatinan, dan keinginan masyarakat sesuai dengan hati nuraninya.
Kedua, sila keempat Pancasila secara tersirat mengajarkan kita semua agar selalu mengutamakan musyawarah, termasuk dalam berhukum. Pengertian musyawarah ini lebih dekat dengan model diskursus dalam demokrasi deliberatif ala Jurgen Habermas. Hukum tentu hanya bisa berlaku efektif apabila antara aparat dan rakyat terjalin pemahaman yang sama mengenai isi hukum dan penegakannya. Maka komunikasi hukum sangat diperlukan untuk mengurangi jarak antara masyarakat dengan hukum sekaligus membentuk jaring-jaring komunikasi hukum yang menghubungkan antara rakyat dengan aparat penegak hukum belum. Inilah problem utama dalam reformasi penegakan hukum Indonesia secara fundamental dan paradigmatik. Hukum yang selama ini memiliki watak formal menimbulkan persoalan legalitas, dan hambatan-hambatan yang muncul dari bekerjanya hukum yang legalistik tersebut dapat diatasi apabila, seperti dikatakan oleh Karl Renner; kita bersedia untuk membuka pintu saluran hukum (acces to justice) sehingga hukum mampu mengakomodasi dinamika dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan paradigma aparatur penegak hukum ke arah hukum itu adalah suatu kerangka, yang di dalamnya orang dapat berdiskusi. Sesungguhnya, bangsa kita sudah mengikuti pandangan tersebut, misalnya yang dicontohkan dalam budaya jawa dengan ajakan “ono rembug yo dirembug”, yang artinya kalau ada persoalan, marilah kita bicarakan baik-baik.
Komunikasi hukum yang terjalin secara dua-arah tersebut diharapkan dapat membentuk pola kerjasama dalam proses penegakan hukum antara hukum dengan masyarakat. Selain itu, pola penegakan hukum yang lebih komunikatif secara tidak langsung juga mewajibkan kepada aparatur penegak hukum untuk lebih transparan dan akuntabel dalam melaksanakan tugasnya, sehingga publik dapat menggunakan hak-nya untuk memantau dan mengamati perilaku aparatur penegak hukum serta mengajukan keberatan bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak publik, karena partisipasi masyarakat tidak dapat terlaksana tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas akan sulit terlaksana tanpa pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum. Dengan demikian, maka potensi penyimpangan dapat diminimalisir serta mempercepat upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sehingga dapat integritas aparatur penegak hukum di Indonesia semakin meningkat dan kepercayaan masyarakat (public trust) akan semakin menguat.

Ketiga, penegakan hukum (law enforcement) sebagai sebuah sistem pasti tidak dapat dilepaskan dari adanya harmonisasi yang meliputi keterhubungan (connection), ketergantungan (dependence), dan keterpaduan (integration) antar komponen didalamnya yang mengarah, berorientasi pada pencapaian tujuan yang telah ditetapkan yaitu untuk memenuhi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bagian dari suatu sistem maka institusi-institusi penegak hukum yang ada seharusnya membangun sinergisitas dalam menegakkan peraturan dan rasa keadilan masyarakat, bukan malah saling menonjolkan ego sektoral bahkan terkesan saling mendegradasi dan mengalahkan satu sama lain. Hal tersebut malah akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat (public trust) yang pada akhirnya akan menghambat tercapainya tujuan dari sistem penegakan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, melalui harmonisasi sistem penegakan hukum, akan terbentuk sistem yang mengakomodir tuntutan akan kepastian hukum, terwujudnya keadilan serta menghindari tumpang tindih kewenangan masing-masing institusi penegak hukum sehingga hukum benar-benar bermanfaat dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

KONSTITUSIONALITAS PEMBENTUKAN LEMBAGA/BADAN PEMERINTAHAN DENGAN PERATURAN PRESIDEN

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan memegang kekuasaan pemerintahan negara. Dengan demikian, Presiden memiliki tugas dan tanggung jawab konstitusional untuk menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional. Dengan beban tugas yang berat tersebut kemudian konstitusi memberikan sebuah desain “pembantu Presiden” dalam melaksanakan tugasnya yang secara eksplisit menentukan bahwa Wakil Presiden [Pasal 4 ayat (2)] dan Menteri [Pasal 17 ayat (1)] yang memiliki tugas membantu presiden dalam pemerintahan yang kemudian sering disebut dengan lembaga pemerintahan dalam kerangka sistem presidensial. Dengan adanya lembaga penyelenggara pemerintahan tersebut maka sebenarnya konstitusi mendesain agar tugas-tugas pemerintahan yang ada dan besar tersebut akan terbagi habis kepada 2 (dua) entitas lembaga penyelenggara pemerintahan di atas berdasarkan asas pembagian tugas. Namun demikian, berkembangnya masyarakat baik dari sudut pertambahan penduduk, ekonomi, pendidikan, kesehatan di satu pihak dan kemampuan Negara untuk memenuhi harapan masyarakat terutama di bidang ekonomi serta keamanan di lain pihak akan menimbulkan ledakan harapan masyarakat dan kebutuhan masyarakat yang dalam sistem presidensial tersebut, maka stigma masyrakat pasti mengarah pada Presiden-lah yang tidak mampu melaksanakan tugasnya. Oleh karena Presidenlah yang dapat mengukur tingkat beban kerja yang harus diembannya serta dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat maka Presiden berhak membentuk suatu lembaga atau badan lain dalam bidang pemerintahan.
Mahkamah konstitusi dalam Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011, bertanggal 5 Juni 2012,  juga pernah mempertimbangkan bahwa dalam rangka melaksanakan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka keberadaan atau pembentukan suatu lembaga negara yang tidak secara tegas dicantumkan dalam UUD 1945, dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Mahkamah konstitusi juga mempertimbangkan bahwa UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuanketentuan lain di dalam UUD 1945.
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana jika pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pemerintahan yang tidak disebutkan dalam UUD 1945 tersebut adalah hanya menggunakan “baju” Peraturan Presiden?
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Preaturan Perundang-Undangan sebagai landasan yang memuat tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia memang memberikan derajad Peraturan Presiden adalah lebih rendah ketimbang Undang-Undang. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang menempatkan Undang-Undang pada urutan ketiga dan Peraturan Presiden pada urutan kelima dan memberikan konsekuensi bahwa Undang-Undang memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan Peraturan Presiden. Namun demikian, dalam konteks kekuasaan pemerintahan, Undang-Undang a quo juga sejalan dengan penguatan prinsip presidensiil sebagaimana telah dijlaskan sebelumnya di atas. Diakomodasinya penguatan atas prinsip tersebut dalam dilihat dalam Pasal 1 angka 6 yang menyatakan, “Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Hal tersebut kemudian dikuatkan lagi berdasarkan Pasal 13 yang menyatakan, “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan”.

Penggunaan kata “atau” dalam kedua pasal mengenai Peraturan Presiden tersebut memberikan pengertian bahwa Undang-Undang a quo memberikan alternatif bagi pelaksanaan hak prerogatif Presiden sebagaimana dalam sistem presidensiil. Karena dalam desain konstitusi kita sendiri, kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan bagi Presiden lebih besar ketimbang 2 (dua) cabang kekuasaan lainnya (yudikatif dan legislatif) karena menguasai 3 (tiga) dari 7 (tujuh) jenis peraturan perundang-undangan yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU); (ii) Peraturan Pemerintah (PP); dan (iii) Peraturan Presiden (Perpres). Pemberian kekuasaan tersebut adalah konsekuensi dari pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan sistem presidensial dan telah dijamin dalam UUD 1945.
Namun demikian, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang besar tersebut tetap harus tunduk kepada konstitusi sebagai bentuk supremacy of law sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pasca perubahan UUD 1945 yang merupakan salah satu agenda reformasi tahun 1998, pembatasan terhadap kekuasaan Presiden terlihat sangat kental dengan memperkuat prinsip pembagian kekuasaan serta checks and balances. Dalam konteks kekuasaan Presiden untuk membentuk sebuah lembaga/badan pemerintahan maka secara substansi, adanya lembaga/badan yang baru tersebut harus didasarkan pada adanya urusan pemerintahan baru yang memang belum ada lembaga/badan yang mengurusinya. Dengan perkataan lain, kewenangan yang akan diberikan kepada lembaga/badan pemerintahan yang baru tersebut tidak boleh tumpang tindih apalagi bertentangan dengan kewenangan yang telah dimiliki oleh lembaga/badan pemerintahan yang sudah ada. Mengapa demikian? Desain konstitusi yang memberikan kewenangan untuk memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara kepada Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian bahwa dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara haruslah seimbang dan jelas (tidak redundant), sehingga apabila terdapat kewenangan yang saling tumpang tindih bahkan bertentangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Dengan demikian, pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pemerintahan yang tidak disebutkan dalam UUD 1945 dengan menggunakan instrumen Peraturan Presiden adalah dalam rangka menjalankan kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden dan tidak bertentangan dengan konsitusi sepanjang tidak terdapat tumpang tindih kewenangan dengan lembaga/badan yang sudah ada.