Kamis, 23 Juni 2016

HUKUM DALAM “DUNIA POPPER”

Pendahuluan

Karunia Tuhan berupa akal yang hanya diberikan kepada kita (manusia) sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya di muka bumi ini menghasilkan sebuah  konsekuensi-logis bahwa dalam rangka memahami setiap hal yang ditangkap oleh pancaindra manusia, akan timbul keinginan (hasrat) untuk selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya. Akal ini akan selalu mendorong manusia untuk berproses mencari jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya diciptakannya sendiri. Sebuah (atau bahkan banyak) jawaban yang ingin didapat pastinya adalah yang paling mendekati suatu kebenaran. Akan tetapi, berdasarkan sejarah pemikiran filsafat, khususnya pada era Yunani, pendayagunaan akal manusia belum menjadi hal yang utama. Hal ini disebabkan karena pada masa tersebut, pengaruh keilahian melalui doktrin hukum alam begitu dominan. Barulah kemudian pada masa Renaissance (1493 - 1650) perkembangan pemikiran ini mencapai puncak keemasannya, seiring dengan tuntutan kebenaran faktual yang mendasarkan pada rasionalitas yang tampak jelas pada akhir abad kelima belas (Samekto, 2015:31).  Rasionalisme telah menempatkan akal budi manusia sebagai satu-satunya tolok ukur yang sah bagi kegiatan, karya dan kehidupan manusia (Huijbers, 1982:50).
Tahap selanjutnya adalah pada masa (permulaan abad ke-17) di mana berkembang dengan pesat pandangan bahwa yang benar adalah yang nyata dan dapat dilihat serta diobservasi melalui metode ilmiah. Sebuah cara berpikir yang diprakarsai oleh Francis Bacon (1561 – 1626) melalui metode berpikir induktif yang pada saat itu menentang kecenderungan para ahli filsafat pada masa-masa sebelumnya yang dalam alur berpikirnya, untuk pertama-tama menyetujui terlebih dahulu kesimpulan, baru kemudian mengumpulkan fakta untuk mendukungnya (Sidharta, 2013:46). Pandangan tersebut kemudian dijadikan landasan lahirnya filsafat positivisme. Paradigma ini memfokuskan pandangannya dalam epistemologi tentang ilmu pengetahuan, suatu cabang dalam filsafat yang menurut Runers, bertugas untuk menyelidiki sumber, struktur, metode dan validitas pengetahuan       (I Dewa Gede Atmaja, 2014). Pengaruh (influence) paradigma ini sangat luas dan signifikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, bahkan hingga saat ini. Betapa tidak, paradigma a quo telah menyadarkan kita terhadap pentingnya data dan eksperimen dalam ilmu pengetahuan. Secara praktis, positivisme telah menjadi sebuah model pemikiran baru dalam cara berpikir manusia dewasa ini. Namun demikian, sejarah perkembangan filsafat ilmu pengetahuan telah mencatat bahwa positivisme, meskipun memiliki keunggulan yang mendasar, bukanlah satu-satunya teori ilmu pengetahuan. Justru ketika positivisme logis mendapatkan legitimasi dalam praktik ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu sosial, filsafat ilmu pengetahuan dewasa ini mengembangkan diri sebagai kritik terhadap praktik-praktik positivisme tersebut. Salah satu teori epistemologi dimaksud adalah teori kritik dari Karl Raimud Popper yang memberikan perhatian pada logika ilmu pengetahuan (Dua, 2007:53).

Three Worlds” Karl Raimund Popper

Sosok pria kelahiran Wina, Austria pada tanggal 28 Juli 1902 ini merupakan salah satu filsuf ilmu pengetahuan yang turut “memberontak” mazhab lingkaran Wina dengan tokoh sentral Rudolf Carnap yang pada saat itu merupakan penggagas sekaligus pendakwah paradigma positivisme, di samping tokoh-tokoh lain, misalnya Thomas Kuhn dan Hans-Georg Gadamer. Pada saat metode verifikasi dengan gencar dikumandangkan melalui ajaran positivisme logis (konsep statis), Popper menawarkan sebuah metode yang berbeda karena menggunakan kritik (konsep dinamis) untuk mencapai suatu kebenaran. Sebuah metode yang dinamakan metode falsifikasi (uji kebenaran), sebagai tandingan metode verifikasi (uji kesalahan).
Dalam suatu kesempatan, pada tanggal 7 April 1978 Karl Raimund Popper diundang memberikan kuliah umum pada bidang nilai-nilai kemanusiaan, di Universitas Michigan. Dalam pemaparannya tersebut, Popper membawakan satu topik dengan judul ‘Three Worlds’ (Tiga Dunia). Dalam topik tersebut, secara sederhana Popper menggagas pemikiran bahwa alam semesta ini terbagi menjadi tiga bagian (sub) yang masing-masing berbeda namun saling berinteraksi. Konsep ini merupakan salah satu karya penting Popper dan menguatkan fondasi metode falsifikasi yang dia tawarkan, khususnya untuk mempertahankan objektivitas dan rasionalitas ilmu pengetahuan.
Secara singkat, pembagian (sub) dunia ini adalah sebagai berikut: Dunia pertama, disebut Popper sebagai dunia fisik (physical world). Dunia fisik ini terdiri atas segala benda di alam ini, baik benda mati (the world of non-living physical objects) maupun segala yang hidup (the world of living things, of biological objects), seperti tumbuhan dan hewan. Bahkan bentuk energi, seperti radiasi juga termasuk dalam dunia pertama ini. Jadi dunia ini merupakan dunia materi dan energi, baik organis maupun non-organis dalam hakikatnya yang fisik.
Dunia kedua adalah dunia mental atau psikologis (mental or psychological world) yang meliputi perasaan (sedih maupun bahagia), pemikiran, keputusan, persepsi, dan pengamatan, sehingga dengan kata lain dunia mental atau psikologis ini dapat juga dikatakan sebagai sebuah proses atau pengalaman subjektif manusia. Pada dunia kedua ini terdapat mental yang berada di alam sadar dan bawah sadar, atau bisa pula berupa alam psikologis manusia dan alam psikologis hewan.
Dunia ketiga adalah dunia produk pemikiran manusia, yang di situ terdapat segala hasil kreasi manusia, seperti bahasa, rumus, teori, seni, teknologi, argumen, kritik, dan seterusnya. Dunia ketiga inilah yang oleh Popper disebut dunia pengetahuan objektif yang mana sebenarnya dengan Dunia 3 inilah Popper ingin menunjukkan argumentasi perlawanannya terhadap para “filsuf kepercayaan” seperti Descartes, Berkeley, Hume, Kant, Russel (Taryadi, 1989:93). Yang penting kata Popper, bukanlah kepercayaan, melainkan pilihan (preferensi) yang kritis, dan problem kita ialah menemukan teori yang lebih baik dan lebih berani (Popper, 1972:107).
Kemudian bagaimana hubungan antara tiga dunia itu? Menurut Popper, Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi, begitu pula Dunia 2 dan Dunia 3 juga saling berinteraksi, sementara Dunia 1 dan Dunia 3 tidak berinteraksi secara langsung, melainkan melalui perantaraan Dunia 2. Atau dengan istilah lain, benda-benda fisiologis berinteraksi dengan benda-benda psikologis, sedang benda-benda psikologis berinteraksi dengan benda-benda logis, sementara benda-benda fisiologis tidak berinteraksi dengan benda-benda logis secara langsung (Popper, 1972:155).
Tulisan ini mencoba untuk mencerminkan “hukum” dalam perspektif teori atau gagasan three worlds guna mengetahui atau mengidentifikasi posisi hukum dalam “klasifikasi dunia” yang tawarkan oleh Karl R. Popper tersebut.

“Hukum” yang mana?

Sebelum mengidentifikasi “hukum” dalam konsep yang digagas oleh Popper tersebut, perlu diingat bahwa standing point Popper adalah dalam rangka menguatkan pandangan objektivisme yang hakikatnya merupakan ranah ilmu pengetahuan alam (walaupun kemudian diakomodir dalam pemahaman positivisme hukum). Timbul pertanyaan, apakah bisa konsep tersebut diterapkan dalam pemahaman ilmu hukum yang notabene merupakan pengetahuan kemanusiaan? Oleh karena itu, terlebih dahulu perlu dibahas mengenai kedudukan epistemologi Popper dalam ilmu pengetahuan untuk melihat “benang merah”-nya dalam mengidentifikasi ilmu hukum.
Dalam ranah filsafat, Popper berjalan di atas epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. Penyelidikan dalam bidang ini telah mendikotomikan filsafat ilmu pengetahuan pada dua pandangan yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme berpendirian bahwa hanya dengan bermodalkan pada akal budi manusia kita dapat sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Sementara kaum empirisme mengatakan bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia adalah pengalaman. Yang paling pokok untuk dapat sampai pada pengetahuan yang benar adalah data dan fakta yang ditangkap oleh pancaindra kita. Selanjutnya muncul pandangan yang berusaha untuk menjembatani konflik kedua aliran pemikiran ini, hal tersebut digagas oleh Immanuel Kant melalui transendental idealis-nya yang mengatakan bahwa kendati pengetahuan berasal dari pengalaman pancaindra, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada kategori-kategori bentuk sebagaiman dikatakan Plato yang memungkinkan kita menangkap benda-benda itu sebagaimana adanya (A. Sonny Keraf, 2001:59).
Popper termasuk golongan filsuf seperti Kant. Ia setuju bahwa tidak mungkin pengetahuan merupakan suatu tiruan atau impresi realitas. Ia mendukung gagasan sentral Kant bahwa teori-teori ilmiah adalah buatan manusia atau bahwa kita mencoba mendesakkan berlakunya teori-teori itu atas dunia. Namun menurut Popper, teori-teori yang merupakan hasil penemuan manusia mungkin saja hanya dugaan yang kurang beralasan (ill-reasoned), konjektur, hipotesis yang berani. Dari sebuah teori manusia membangun suatu dunia, bukan dunia yang sebenarnya, melainkan jaring-jaring pemikiran manusia sendiri yang dipakai dalam percobaan menangkap dunia yang sebenarnya (Popper K:25). Oleh karena itu, Popper termasuk dalam filsuf yang beraliran rasionalisme kritis yang sekaligus mencakup intelektualisme maupun empirisme, karena Popper menekankan pentingnya pengamatan dan percobaan sebagai ujian terhadap teori. Hal ini sesuai dengan prinsip empirisme yang menyatakan bahwa dalam ilmu hanya pengamatan dan pengalaman boleh memutuskan diterima atau ditolaknya pernyataan-pernyataan ilmiah, termasuk hukum dan teori (Popper K. R., 1989:27).
Dengan pendekatan objektivis, yang dalam pandangan Popper juga disebut sebagai pendekatan problem-solving, Popper menentang pernyataan bahwa metode pemahaman yang merupakan ciri khas ilmu-ilmu sosial sekaligus yang membedakannya dengan ilmu-ilmu alam. Gagasan problem-solving dapat digunakan juga sebagai teori penjelasan tentang tindakan manusia. Sebab orang dapat menafsirkan suatu tindakan sebagai usaha untuk memecahkan masalah  (Taryadi, 1989:104).
Dalam kerangka berpikir yang demikian maka pendekatan objektivis Popper ini sangat erat kaitannya dengan paradigma positivisme hukum yang lahir sebagai kritik terhadap mazhab hukum kodrat yang terlalu idealistik dan abstrak. Dengan demikian, pertanyaan mengenai hukum seperti apa yang akan diletakkan dalam tiga dunia Popper ini terjawab, yaitu yang bukan hukum kodrat. Hal ini sejalan dengan perkembangan filsafat hukum yang menganggap hukum harus netral, bebas nilai, imparsial atau bebas dari kepentingan manusiawi (rule of law, not rule of man) demi mengusung objektivitas dan kepastian hukum. Pandangan ini kemudian yang dijadikan pondasi perkembangan aliran postivisme hukum.

Hukum Normatif atau Hukum Empiris?

Perkembangan hukum yang dalam prakteknya sangat menentang pandangan hukum kodrat ini ternyata juga mengalami dikotomi secara internal, yaitu munculnya pandangan antara hukum normatif (dogmatik) dengan hukum empiris. Perbedaan keduanya bersifat unik, karena sama-sama berada pada aras positivisme yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan hukum yang objektif dan bebas dari kepentingan-kepentingan subjektif. Namun demikian, layaknya metode falsifikasi yang memberikan jalan alternatif menuju objektivis, hukum normatif dan empiris juga memberikan jalan yang berbeda untuk menuju alamat yang sama, yaitu positivisme.
Dalam sejarahnya, empirisme selalu bertikai dengan rasionalisme. Tetapi dalam ranah Ilmu Hukum, justru empirisme berselisih dengan ilmu hukum normatif. Padahal ilmu hukum normatif, tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai rasionalisme. Pertanyaannya, mengapa dalam ilmu hukum, empirisme justru berselisih dengan normatif (isme)?
Widodo Dwi Putro (Putro, 2011:65-67) memberikan pandangannya dalam rangka menjawab pertanyaan dimaksud dengan mengemukakan 4 (empat) faktor penyebab pertentangan tersebut. Pertama, filsuf empirisme menganggap bahwa hanya yang empirik yang dapat menghasilkan kebenaran objektif dan tidak spekulatif. Pandangan ini berpijak pada pendapat David Hume, kemudian diikuti oleh Jeremy Bentham dan diamini oleh John Austin, yang membedakan “law as it is” (hukum adap adanya atau yang dikenal oleh pancaindra) dari “law as ought to be” (hukum yang seharusnya atau yang diidealkan); Kedua, ilmu hukum normatif menurut Kelsen memiliki perbedaan dalam membuat garis demarkasi antara “is” (nyata) dan “ought” (seharusnya). Kelsen sebagaimana pandangan Kant dalam “imperatif kategoris”, meletakkan norma di wilayah “ought” bukan “is”. Kelsen melihat hakikat “ought” masih merupakan makna subjektif dari tiap tindakan berkehendak yang ditujukan pada perilaku orang lain dan baru memiliki makna objektif apabila bersandar pada norma hukum; Ketiga, Hans Kelsen mengembangkan ilmu hukum yang diharapkan berdiri sejajar dengan ilmu-ilmu alam. Dengan cara yang sama dalam ilmu alam yang berusaha melakukan pemurnian terhadap aspek-aspek non-eksak dan non-kualitatif untuk mendapat pengetahuan ilmiah-objektif maka ilmu hukum juga dimurnikan dari anasir-anasir non-hukum untuk mendapatkan hukum yang objektif. Dalam pemurnian tersebut, tidak dikehendaki adanya kontaminasi elemen-elemen asing (sosiologi-empiris); Keempat, pangkal pendekatan metodologi yang berbeda. Ilmu hukum empiris bekerja dengan cara induktif yaitu bertolak dari pengamatan data khusus, lalu mengambil kesimpulan umum, sedangkan ilmu hukum normatif “murni” cenderung deduktif (silogisme), berangkat dari premis mayor (norma hukum), menuju fakta-fakta konkret (premis minor) lalu menarik konklusi.
 Terlepas dari perdebatan perenial antara kedua kutub pemikiran dalam positivisme hukum tersebut, pandangan A. De Wild (de Rationalitet van Het Rechterlijk Oordeel, 1980) telah memberikan warna tersendiri. Seraya ingin mengadopsi pemikiran rasionalisme kritikal Popper dalam ilmu hukum empiris, De Wild memaparkan bahwa tugas dari ilmu hukum (empirik) adalah tidak hanya memaparkan fakta, tetapi juga menjelaskannya dengan bantuan hipotesis-hipotesis dan keajegan-keajegan. Bukankah ilmu hukum itu dapat memberikan suatu model keputusan tertentu kepada pembentuk Undang-Undang dan hakim? Misalnya dalam arti bahwa kepada pembentuk Undang-Undang dapat dikemukakan bahwa Undang-Undang ini atau itu mempunyai akibat-akibat (praanggapan-praanggapan) ini dan itu. Atau: jika orang ingin tujuan ini atau itu tercapai maka harus diadakan suatu pengaturan demikian. Hal sejenis berkenaan dengan interpretasi Undang-Undang dapat diberikan kepada hakim  (Meuwissen, 2013:60-61).
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Popper merupakan filsuf dalam golongan rasionalisme kritis yang tidak hanya membenarkan bahwa pengetahuan bersifat apriori, melainkan juga harus bersedia mendengarkan penalaran kritis dan belajar dari pengalaman. Selain tiu, Popper membedakan penggunaan istilah “akal” dan “rasionalisme” dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, istilah-istilah tersebut dipakai untuk mencakup tidak hanya kegiatan intelektual, melainkan juga pengamatan dan percobaan (observation and experiment) dan mungkin lebih tepat disebut “intelektualisme” (Popper K. R., Conjectures and Refutations, 1989:25-27). Secara a contrario, rasionalisme Popper juga meliputi empirisme yang mendasarkan pada pengamatan dan percobaan. Namun empirisme Popper adalah empirisme kritis yang memberikan peranan kepada penalaran rasional (rational argument) untuk mengkritik alam rangka memecahkan masalah.
Dengan demikian, apakah hukum yang akan dikategorikan dalam bagian tiga dunia Popper ini adalah hukum empiris? Penulis berpandangan tidak, karena apabila yang dikemukakan adalah pandangan hukum empiris maka seolah-olah hukum normatif tidak memiliki tempat dalam klasifikasi dunia Popper, begitupula sebaliknya. Dalam pandangan Kelsen mengenai hukum normatif murni juga masih memberikan ruang bagi subjektivis dalam tatanan nilai yang kemudian diformulasikan menjadi suatu norma hukum. Sebaliknya, De Wild juga masih memberikan ruang subjektivis dalam merasionaliasi fakta-fakta empiris yang ada. Oleh karena itu, dalam tulisan ini tidak akan dipisahkan antara hukum normatif maupun hukum empiris. Keduanya memang berbeda dan oleh karena itu dapat dibedakan, namun keduanya juga tidak terpisah sama sekali. Akar perbedaan tersebut cara pandang positivisme yang dikotomis memisahkan “is” dan “ought” dan menuntutnya agar saling terpisah. Justru kedua hal tersebut yang menjadi ciri khas hukum yang memiliki karakter normatif. Sebuah normativitas mengharuskan adanya keharusan (ought/sollen) bagi kita untuk melakukan sikap tertentu. Meskipun benar bahwa norma berhubungan dengan dunia, tetapi ia (norma) akhirnya berpijak dan bekerja pada basis sosialnya, yaitu masyarakat  (Putro, 2011:74). Jadi hukum tidak normatif (sollen) semata dan juga tidak empiris (sein) belaka.

(Adakah) Hukum di Dunia 3?

Apabila melihat kriteria tiga dunia tersebut maka paling mudah berpendapat bahwa hukum berada di Dunia 3. Dunia produk pemikiran manusia, dunia tempat segala hasil kreasi manusia. Sejalan dengan pandangan positivisme hukum yang sama-sama memberikan nilai tertinggi pada inderawi dan menolak segala bentuk meta-yuridis. Letak perbedaannya adalah, bahwa hukum empiris mempositivisasi fakta sosial (law as it is observed in society) sedangkan hukum normatif murni mempositivisasi norma (law as what it is in the book). Kedua aktivitas tersebut melibatkan akal budi manusia, sehingga hukum yang dihasilkan merupakan hasil dari akal pikiran yang kemudian diformulasikan secara linguistis. Hukum memang multifaset, namun setiap perspektif terhadap fakta hukum tersebut berpangkal pada akal dan tidak lepas dari suatu kritik. Dalam mekanisme pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi misalnya, bunyi pasal atau ayat dari sebuah ketentuan perundang-undangan yang sudah diundangkan masih dapat dinilai/dikritik kembali keberlakuannya. Baik dengan alasan bahwa pasal atau ayat tersebut bertentangan dengan norma lain yang lebih tinggi maupun pasal atau ayat tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Popper dalam makalahnya pun mencontohkan, salah satunya, bahwa sebuah konstitusi yang merupakan produk hukum tertinggi dalam suatu negara tergolong dalam Dunia 3. Susunan kata yang dirangkai dalam sebuah pasal ataupun ayat dalam konstitusi tersebut tidak hanya sekedar kumpulan teks yang tersusun rapi, melainkan seolah-olah sebagai guidance dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Dalam hidup bermasyarakat, sebenarnya masing-masing individu memiliki sense of law secara alamiah, yaitu tuntutan untuk berbuat baik dan tidak berbuat jahat. Namun dalam kenyataannya, pemikiran (dalam Dunia 2) tersebut harus dikonkretkan, harus dinyatakan apa hukumnya, agar pemikiran individu tersebut tersampaikan kepada masing-masing individu lain dalam masyarakat. Otoritas yang berwenang mengonkretkan hukum menjadi sebuah produk hukum tersebut juga adalah personifikasi dari manusia, sehingga otoritas tersebut dalam menjalankan tugas memformulasi hukum juga tidak bisa luput dari kesalahan dan akan terbuka terhadap kritik. Dengan demikian, bahwa jelas hukum termasuk dalam Dunia 3.

(Adakah) Hukum di Dunia 1?

Popper juga menyampaikan bahwa sebagian besar, meskipun tidak semua, objek dalam Dunia 3 merupakan perwujudan atau dapat diwujudkan (embodied) dalam benda-benda fisik sebagaimana termasuk dalam Dunia 1. Hukum yang merupakan sebuah produk dari proses logis dalam Dunia 3 tersebut secara normatif dapat dikategorikan berupa peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim. Tentu dalam pandangan positivisme hukum, produk hukum selalu memiliki konteks ruang dan waktu. Hukum dalam pengertian positif merupakan sebuah hukum yang berlaku pada suatu ruang dan waktu tertentu.
Namun demikian, harus diingat bahwa benda-benda fisik dalam Dunia 1 ini sudah tidak bisa dilakukan penilaian bahkan kritik terhadapnya. Pandangan demikian dekat pandangan positivisme hukum di Indonesia pada saat awal perkembangan masuknya ajaran tersebut (bahkan sampai sekarang) yang ditandai dengan keinginan diadakannya unifikasi dan kodifikasi hukum. Pada saat itu, hukum tidak melihat struktur geologis masyarakat Indonesia yang multikultur karena hukum semata-mata hanya berurusan pada norma-norma dan tidak mempermasalahkan apakah ketentuan tersebut adil atau tidak. Bahkan, hukum pada konteks ini secara tidak langsung telah menempatkan Hakim (dan penegak hukum lainnya) hanya sekedar sebagai instrumen Undang-Undang atau lebih radikal dikatakan hanya sebagai corong Undang-Undang, sehingga dalam konteks ini hukum tidak dapat dilakukan kritik, yang ada hanya dioperasionalisasikan. Salah satu contoh misalnya sebagaimana kasus yang baru-baru saja terjadi di Serang terkait dengan razia terhadap warung yang buka di siang hari. Hukum tidak mempersoalkan adanya paradoks antara jaminan bekerja dan menafkahi hidup dengan jaminan kebebasan beragama di Indonesia. Hukum hanya bekerja secara praktis dan sesuatu yang pasti  tanpa boleh dipertanyakan nilai-nilainya. Dalam konteks demikianlah menurut penulis, hukum juga “dapat” termasuk dalam Dunia 1.

(Tidak Adakah) Hukum di Dunia 2?

Pertanyaan terakhir adalah apakah ada hukum di dunia mental atau psikologis (mental or psychological world)? Menurut penulis berdasarkan logika positivisme hukum maka hukum tidak termasuk dalam golongan dunia ini, atau tidak ada hukum di Dunia 2 karena sangat dekat dengan bentuk pemikiran hukum kodrat terkait dengan nilai-nilai keadilan dalam berhukum. Jelas hal tersebut tidak termasuk, bahkan sengaja dieliminasi dalam pemikiran positivisme hukum. Dalam konteks hukum selalu berkenaan dengan manusia dalam suatu masyarakat maka pemikiran atau kesadaran hukum yang awalnya bersifat keyakinan internal (batiniah) harus memiliki bentuk tertentu agar pada saat yang sama, masing-masing terikat pada yang individu/orang lain pikirkan atau rasakan, barulah kemudian kehidupan bermasyarakat dapat berjalan dengan tertib. Dengan demikian hukum harus diwujudkan dalam produk hukum (positif), sehingga tidak ada hukum di dunia mental atau psikologis ini.
Dalam hal ini, Popper juga memberikan penekanannya (sebagaimana termuat dalam Bab XI makalah Three Worlds) bahwa dalam interaksi antara Dunia 2 dan Dunia 3 ini terjadi proses yang disebutnya “the transition from a non-linguistic thought to a linguistically formulated thought” sebagai proses yang penting, selama pikiran dalam proses Dunia 2 hanya bagian dari diri kita sendiri dan tidak terbuka kritik baginya. Secara analogi, pandangan yang mungkin paling mendekati dalam hukum normatif mungkin adalah hukum yang berlaku di masa mendatang (ius constituendum) yang kemudian berproses menjadi ius constitutum sebagai hukum positif. Namun demikian, dalam praktiknya ius constituendum ini juga masih terbuka untuk kritik ketika sudah dituangkan secara linguistik, misalnya sebuah Rancangan Undang-Undang KUHP yang masih dalam proses diskursus yang sangat panjang, pun secara formal, masih berbentuk rancangan dan belum berlaku mengikat. Dengan demikian, ius constituendum ini tidak dapat digolongkan dalam Dunia 2, melainkan dalam Dunia 3, kendati pun masih belum melalui proses pembahasan dalam sebuah RUU misalnya, apabila rumusan tersebut telah dituangkan  dalam sebuah tulisan misalnya, maka ia menjadi sebuah produk akal budi sebagaimana dalam Dunia 3.

Kesimpulan

Berdasarkan seluruh pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Three Worlds oleh Karl R. Popper dapat direfleksikan dalam studi ilmu hukum, khususnya dalam tulisan ini adalah positivisme hukum. Dalam proses tersebut kemudian diketahui bahwa hukum termasuk dalam Dunia 1 (fisiologis) dan Dunia 3 yang merupakan tempat bernaungnya produk pemikiran manusia. Namun (positivisme) hukum ini tidak dapat direfleksikan dalam Dunia 2 yang merupakan dunia mental atau psikologi, karena dalam pandangan positivisme hukum yang dikatakan “ada” adalah sesuatu yang konkret, netral, dan (dalam hal ini) dapat dikritik.


DAFTAR PUSTAKA


A. Sonny Keraf, M. D. (2001). Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: PT. Kanisius.
Dua, M. (2007). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Maumere: Ledalero.
Huijbers, T. (1982). Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:                        PT. Kanisius.
I Dewa Gede Atmaja, S. d. (2014). Filsafat Ilmu: Dari Pohon Pengetahuan Sampai Karakter Keilmuan Ilmu Hukum. Malang: Madani.
Meuwissen. (2013). Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Bandung: PT. Refika Aditama.
Popper, K. R. (1972). Objective Knowlegde, An Evolutionary Approach. Dalam A. Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper (hal. 107). Oxford: Clarendon Press.
Putro, W. D. (2011). Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing.
Samekto, A. (2015). Pergeseran Pemikiran Hukum dari Era Yunani Menuju Postmodernisme. Jakarta: Konstitusi Press.
Sidharta. (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum Buku 1 (Akar Filosofis). Jakarta: Genta Publishing.
Taryadi, A. (1989). Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper. Jakarta: PT. Gramedia.