Berdasarkan Pasal 4
ayat (1) UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan memegang kekuasaan pemerintahan
negara. Dengan demikian, Presiden memiliki tugas dan tanggung jawab konstitusional
untuk menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional. Dengan beban tugas yang berat tersebut
kemudian konstitusi memberikan sebuah desain “pembantu Presiden” dalam
melaksanakan tugasnya yang secara eksplisit menentukan bahwa Wakil Presiden [Pasal
4 ayat (2)] dan Menteri [Pasal 17 ayat (1)] yang memiliki tugas membantu presiden
dalam pemerintahan yang kemudian sering disebut dengan lembaga pemerintahan
dalam kerangka sistem presidensial. Dengan adanya lembaga penyelenggara
pemerintahan tersebut maka sebenarnya konstitusi mendesain agar tugas-tugas
pemerintahan yang ada dan besar tersebut akan terbagi habis kepada 2 (dua)
entitas lembaga penyelenggara pemerintahan di atas berdasarkan asas
pembagian tugas. Namun demikian, berkembangnya masyarakat baik dari sudut
pertambahan penduduk, ekonomi, pendidikan, kesehatan di satu pihak dan kemampuan
Negara untuk memenuhi harapan masyarakat terutama di bidang ekonomi serta
keamanan di lain pihak akan menimbulkan ledakan harapan masyarakat dan
kebutuhan masyarakat yang dalam sistem presidensial tersebut, maka stigma masyrakat
pasti mengarah pada Presiden-lah yang tidak mampu melaksanakan tugasnya. Oleh karena
Presidenlah yang dapat mengukur tingkat beban kerja yang harus diembannya serta
dipandang dari sudut pengutamaan tujuan yang hendak dicapai (doelmatigheid) atau nilai kemanfaatan
dalam rangka memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat
maka Presiden berhak membentuk suatu lembaga atau badan lain dalam bidang
pemerintahan.
Mahkamah konstitusi dalam
Putusan Nomor 79/PUU-IX/2011, bertanggal 5 Juni 2012, juga pernah mempertimbangkan bahwa dalam
rangka melaksanakan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka keberadaan atau
pembentukan suatu lembaga negara yang tidak secara tegas dicantumkan dalam UUD
1945, dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu,
Mahkamah konstitusi juga mempertimbangkan bahwa UUD 1945 hanya mengatur hal-hal
yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang.
Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya
asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu
yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan
dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak
konstitusional atau ketentuanketentuan lain di dalam UUD 1945.
Permasalahan yang timbul
adalah bagaimana jika pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pemerintahan
yang tidak disebutkan dalam UUD 1945 tersebut adalah hanya menggunakan “baju”
Peraturan Presiden?
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Preaturan Perundang-Undangan sebagai landasan yang memuat tata cara
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia memang memberikan derajad
Peraturan Presiden adalah lebih rendah ketimbang Undang-Undang. Hal tersebut
dapat dilihat pada Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan yang menempatkan Undang-Undang pada urutan ketiga dan Peraturan
Presiden pada urutan kelima dan memberikan konsekuensi bahwa Undang-Undang
memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan Peraturan Presiden.
Namun demikian, dalam konteks kekuasaan pemerintahan, Undang-Undang a quo juga sejalan dengan penguatan
prinsip presidensiil sebagaimana telah dijlaskan sebelumnya di atas. Diakomodasinya
penguatan atas prinsip tersebut dalam dilihat dalam Pasal 1 angka 6 yang
menyatakan, “Peraturan Presiden adalah
Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Hal
tersebut kemudian dikuatkan lagi berdasarkan Pasal 13 yang menyatakan, “Materi muatan Peraturan Presiden berisi
materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah, atau materi untuk
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan”.
Penggunaan kata “atau” dalam kedua pasal
mengenai Peraturan Presiden tersebut memberikan pengertian bahwa Undang-Undang a quo memberikan alternatif bagi pelaksanaan
hak prerogatif Presiden sebagaimana dalam sistem presidensiil. Karena dalam desain
konstitusi kita sendiri, kekuasaan pembentukan peraturan perundang-undangan
bagi Presiden lebih besar ketimbang 2 (dua) cabang kekuasaan lainnya (yudikatif
dan legislatif) karena menguasai 3 (tiga) dari 7 (tujuh) jenis peraturan
perundang-undangan yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPPU); (ii) Peraturan Pemerintah (PP); dan (iii) Peraturan Presiden
(Perpres). Pemberian kekuasaan tersebut adalah konsekuensi dari pemegang
kekuasaan pemerintahan berdasarkan sistem presidensial dan telah dijamin dalam
UUD 1945.
Namun demikian, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang besar tersebut tetap harus tunduk kepada konstitusi sebagai bentuk supremacy of law sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pasca perubahan UUD 1945 yang merupakan salah satu agenda reformasi tahun 1998, pembatasan terhadap kekuasaan Presiden terlihat sangat kental dengan memperkuat prinsip pembagian kekuasaan serta checks and balances. Dalam konteks kekuasaan Presiden untuk membentuk sebuah lembaga/badan pemerintahan maka secara substansi, adanya lembaga/badan yang baru tersebut harus didasarkan pada adanya urusan pemerintahan baru yang memang belum ada lembaga/badan yang mengurusinya. Dengan perkataan lain, kewenangan yang akan diberikan kepada lembaga/badan pemerintahan yang baru tersebut tidak boleh tumpang tindih apalagi bertentangan dengan kewenangan yang telah dimiliki oleh lembaga/badan pemerintahan yang sudah ada. Mengapa demikian? Desain konstitusi yang memberikan kewenangan untuk memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara kepada Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian bahwa dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara haruslah seimbang dan jelas (tidak redundant), sehingga apabila terdapat kewenangan yang saling tumpang tindih bahkan bertentangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Dengan demikian, pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pemerintahan yang tidak disebutkan dalam UUD 1945 dengan menggunakan instrumen Peraturan Presiden adalah dalam rangka menjalankan kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden dan tidak bertentangan dengan konsitusi sepanjang tidak terdapat tumpang tindih kewenangan dengan lembaga/badan yang sudah ada.
Namun demikian, pelaksanaan kekuasaan pemerintahan yang besar tersebut tetap harus tunduk kepada konstitusi sebagai bentuk supremacy of law sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Pasca perubahan UUD 1945 yang merupakan salah satu agenda reformasi tahun 1998, pembatasan terhadap kekuasaan Presiden terlihat sangat kental dengan memperkuat prinsip pembagian kekuasaan serta checks and balances. Dalam konteks kekuasaan Presiden untuk membentuk sebuah lembaga/badan pemerintahan maka secara substansi, adanya lembaga/badan yang baru tersebut harus didasarkan pada adanya urusan pemerintahan baru yang memang belum ada lembaga/badan yang mengurusinya. Dengan perkataan lain, kewenangan yang akan diberikan kepada lembaga/badan pemerintahan yang baru tersebut tidak boleh tumpang tindih apalagi bertentangan dengan kewenangan yang telah dimiliki oleh lembaga/badan pemerintahan yang sudah ada. Mengapa demikian? Desain konstitusi yang memberikan kewenangan untuk memutus sengketa antar kewenangan lembaga negara kepada Mahkamah Konstitusi memberikan pengertian bahwa dalam pembagian kekuasaan antar lembaga negara haruslah seimbang dan jelas (tidak redundant), sehingga apabila terdapat kewenangan yang saling tumpang tindih bahkan bertentangan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Dengan demikian, pembentukan suatu badan atau lembaga khusus pemerintahan yang tidak disebutkan dalam UUD 1945 dengan menggunakan instrumen Peraturan Presiden adalah dalam rangka menjalankan kekuasaan pemerintahan negara oleh Presiden dan tidak bertentangan dengan konsitusi sepanjang tidak terdapat tumpang tindih kewenangan dengan lembaga/badan yang sudah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar