Selasa, 08 Desember 2015

JAMINAN SOSIAL NASIONAL PASCA UU 24/2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

PENDAHULUAN
Kesehatan sebagai salah satu bagian dari hajat hidup orang banyak merupakan hak yang dilindungi dan wajib dipenuhi negara sebagai perwujudan tujuan pembentukan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam Alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut kemudian diimplementasikan dalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang memberikan hak konstitusional kepada setiap orang atas jaminan sosial, dan di lain pihak, negara berdasarkan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 memiliki kewajiban konstitusional untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hak dan kewajiban konstitusional yang timbul dari kedua pasal tersebut harus diartikan secara keseluruhan, yaitu rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan jaminan sosial, begitupula negara juga memiliki hak dan kewajiban dalam mengembangkan sistem jaminan sosial.
Kata “jaminan” secara bahasa dapat berarti asuransi (insurance), peyakinan (assurance), garansi (guarantee/warranty), janji (promise/pledge), dan pengamanan (security). Perkembangan dalam dunia ekonomi kesehatan secara global akhirnya menuntun negara melalui pembentuk Undang-Undang dalam mengembangkan system jaminan social di Indonesia menggunakan kata “asuransi” dari yang sebelumnya “jaminan” sebagaimana dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN). Perubahan tersebut dalam pelaksanaannya menimbulkan perdebatan karena memiliki kesan perbedaan bahkan pertentangan makna antara keduanya karena pandangan masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih mengartikan asuransi dalam pengertian komersial. Asuransi (insurance) berasal dari kata in-sure yang berarti memastikan. Dalam konteks asuransi kesehatan, pengertian asuransi adalah memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan tanpa harus mempertimbangkan keadaan kantongnya karena ada pihak yang menjamin (asuradur) biaya pengobatan atau perawatan orang tersebut. Secara teori, salah satu jenis asuransi adalah asuransi sosial, yaitu asuransi yang wajib diikuti oleh seluruh atau sebagian penduduk yang pendanaannya dapat berasal dari premi/iuran berupa presentase upah yang wajib dibayarkan atau berasal dari pajak maupun kombinasi keduanya dan manfaat asuransi (benefit) ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan serta sama untuk semua peserta asuransi. Dalam asuransi sosial terdapat system gotong-royong (risk sharing) yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang disepakati secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dana yang terkumpul dari masing-masing penduduk (dana amanat) akan digunakan untuk kepentingan bersama.
Asuransi sosial bertujuan untuk menjamin akses semua orang yang memerlukan pelayanan kesehatan tanpa memperdulikan status ekonomi atau usianya, sehingga memungkinkan terciptanya solidaritas sosial melalui gotong-royong antara kelompok kaya-miskin, muda-tua dan sehat-sakit. Prinsip tersebut merupakan bagian dari pengamalan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bahkan Soekarno secara tersurat dalam pidatonya di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI), tanggal 1 Juni 1945 menyatakan bahwa gotong-royong adalah saripati Pancasila dan menjadi ciri khas negara yang didirikan sebagai wujud impian dan cita-cita bersama rakyat Indonesia. Dengan demikian, asuransi sosial sebagai system jaminan sosial telah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945 karena akan menciptakan sebuah keadilan sosial (social justice) dengan menumbuhkan kesadaran akan kewajiban individu terhadap masyarakat/public secara kolektif sebagai perwujudan kehidupan berbudaya yang mengutamakan kepentingan bersama.
UNIFIKASI PENYELENGARA JAMINAN SOSIAL
Keberadaan BPJS, yang merupakan amanat UU SJSN dan UU BPJS, sebagai satu-satunya badan penyelenggara jaminan sosial dalam lingkup nasional ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang kontra dengan bentuk dan sifat badan yang baru ini beranggapan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bersifat monopolistic karena setiap orang, baik pekerja maupun pemberi kerja wajib mendaftarkan diri maupun pekerjanya hanya kepada BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara yang ditentukan oleh Undang-Undang. Hal tersebut dinilai akan menghalangi hak masyarakat untuk memilih penyelenggara jaminan sosial yang lebih baik dan menghalangi partisipasi masyarakat untuk turut berperan serta menyelenggarakan jaminan sosial dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Pendapat tersebut dapat dipahami karena sebelum diadakan unifikasi penyelenggara jaminan sosial a quo, terdapat 4 (empat) badan penyelenggara jaminan sosial seperti Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES yang masing-masing telah eksis berjalan sesuai dengan lingkup kewenangannya. Baru kemudian Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN mengamanatkan dibentuknya suatu badan penyelenggara jaminan sosial berskala nasional dengan Undang-Undang tersendiri dengan peralihan bahwa keempat badan penyelenggara jamina sosial tersebut tetap diberi hak sebagai penyelenggara jaminan sosial sampai dengan terbentuknya BPJS. Berdasarkan rumusan pasal-pasal a quo maka pembentuk Undang-Undang sebenarnya ingin merubah system jaminan sosial dengan menyatukan seluruh badan (multi) penyelenggara menjadi satu badan (single) khusus secara nasional. Kebijakan perubahan konsep tersebut adalah dalam rangka pengembangan system jaminan sosial dan sesuai dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Selain itu, perubahan konsep penyelenggara jaminan sosial yang semula dilaksanakan oleh BUMN yang kinerjanya diukur berdasarkan indicator laba dan indicator finansial lain kemudian diserahkan kepada suatu badan hukum public khusus yang hanya menyelenggarakan program jaminan sosial dengan prinsip gotong-royong, nirlaba, tata kelola yang baik (good governance), dan portabilitas telah meluruskan kembali tujuan jaminan sosial yang merupakan program kewajiban negara, bukan sekedar program “dagang” negara. Dalam konteks kepemilikan, BPJS mirip dengan usaha bersama atau mutual dalam asuransi (seperti halnya AJB Bumi Putera) dimana pemegang polis adalah pemegang saham namun kepesertaannya bersifat wajib. Masyarakat juga lebih mendapatkan akses untuk menyampaikan pendapatnya serta mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Hal tersebut juga telah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 50/PUU-VIII/2010, tanggal 21 November 2011, antara lain mempertimbangkan, “[3.14.3] Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional – yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Dalam asuransi sosial, manfaat/paket jaminan yang ditetapkan oleh Undang-Undang adalah sama atau relative sama bagi seluruh peserta karena tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) para anggotanya. Lebih lanjut, apabila melihat ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” maka tujuan dari asuransi sosial adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang layak seluruh rakyat Indonesia. Kebutuhan dasar yang layak pada hakikatnya adalah mempertahankan hidup seseorang, sehingga orang tersebut mampu berproduksi atau berfungsi normal sesuai dengan martabat kemanusiaan. Hal tersebut kemudian yang salah satunya mendasari adanya kewajiban untuk turut serta bagi seluruh rakyat Indonesia, karena apabila pemenuhan kebutuhan dasar tersebut diharapkan secara sukarela (komersial) dengan membeli asuransi maka sebagian besar penduduk tidak mampu atau tidak disiplin untuk membeli asuransi. Karakteristik asuransi sosial yang mengatur paket jaminan/manfaat medis relative sama untuk semua peserta dan iuran yang proporsional terhadap upah, akan memfasilitasi terciptanya keadilan yang merata (equity egaliter) dimana seseorang dijamin mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan mengiur sesuai dengan pendapatannya disamping iuran untuk untuk penduduk miskin dan tidak mampu dibayar oleh pemerintah melali program Penerima Iuran Bantuan (PBI). Hal tersebut memungkinkan negara untuk memenuhi hak layanan kesehatan sesuai dengan Pasal 28H UUD 1945. Namun demikian, seseorang yang memiliki penghasilan lebih dan sehingga menginginkan pelayanan kesehatan di luar kebutuhan dasarnya tetap dapat memilih layanan kesehatan yang diinginkan (naik kelas), tentu dengan selisih biaya lebih dari biaya yang menjadi haknya, dan merupakan tanggungan pribadi orang tersebut. Hal tersebut sesuai dengan prinsip equity liberter, yaitu hak layanan kesehatan diperoleh seseorang sesuai dengan bayaran orang tersebut sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UU SJSN.
Baik UU SJSN maupun UU BPJS juga membrikan kesempatan yang sama bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan baik untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak maupun lebih bagi masyarakat yang membutuhkannya. Kata “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 juga mencakup peran serta pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda) dan pihak swasta untuk turut serta mengembangkan system jaminan sosial dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat, terlebih lagi di daerah-daerah penjuru tanah air yang masih belum tersedia fasilitas kesehatan karena pertumbuhan fasilitas kesehatan di daerah telah diserahkan kepada pemda masing-masing, sehingga baik pemda maupun pihak swasta-lah yang akan berespon membangun fasilitas yang memadai dan BPJS akan membayar siapapun yang berobat di fasilitas kesehatan tersebut. Ataupun dalam bentuk asuransi tambahan yang akan memenuhi (meng-cover) kebutuhan dan layanan kesehatan yang melebihi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak. Dengan demikian, semangat konstitusi yang mengamanatkan adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dengan mudah terealisasi dengan adanya kerja sama berbagai pihak khususnya dalam hal ini BPJS dan pihak swasta. Oleh karena itu, BPJS sebagai satu-satunya badan penyelenggara program jaminan sosial harus membuka diri terhadap pihak swasta yang bergerak dalam bidang pelayanan jaminan kesehatan untuk bersinergi dalam mewujudkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
KEPESERTAAN WAJIB
Karakter atau ciri dari layanan kesehatan adalah adanya ketidakpastian (uncertainty) sedangkan di lain pihak, akses terhadap fasilitas serta pelayanan kesehatan yang layak merupakan hak konstitusional warga negara Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan sebuah system asuransi untuk seluruh masyarakat yang bersifat wajib bagi semua penduduk dan system pendanaan public bersumber dari pendapatan umum negara yang berasal dari iuran atau pungutan wajib yang bersifat memaksa. Jika tidak diwajibkan maka yang sakit-sakitan akan membeli asuransi, sementara yang sehat dan masih muda tidak akan membeli asuransi karena tidak merasa memerlukannya, sehingga tidak mungkin tercapai kegotong-royongan antara kelompok kaya-miskin, muda-tua, dan sehat-sakit. Dengan demikian, mewajibkan penduduk untuk ikut serta dalam asuransi sosial adalah dalam rangka untuk memenuhi hak asasi manusia melalui pembiayaan secara kolektif dan sesuai dengan fitrah manusia madani (civil society) yang selalu mengutamakan kepentingan bersama. Begitu pula dalam hal kewajiban membayar iuran yang bersifat proporsional dari upah akan menciptakan subsidi silang dimana yang memiliki upah lebih kecil akan membayar secara nominal lebih kecil, tetapi ketika sakit dan mendapatkan pelayanan kesehatan maka jaminan layanan medis tidak dibedakan dengan yang memiliki upah lebih tinggi.
Pada prinsipnya iuran wajib adalah sama dengan pajak penghasilan (PPh), iuran asuransi sosial disebut juga sebagai pajak jaminan sosial (social security tax). Perbedaannya adalah, PPh bersifat progesif dimana semakin banyak upah yang diterima maka semakin besar pajak yang harus dibayarkan, sedangkan iuran bersifat regresif. Selain itu, PPh menganut system residual, tidak inklusif layanan kesehatan karena penggunaan dananya tidak ditentukan di muka, sedangkan pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk membayar manfaat asuransi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Karena sifatnya yang wajib, sama dengan PPh maka pengelolaan asuransi sosial haruslah dilakukan secara nirlaba sehingga bentuknya harus badan hukum public khusus yaitu BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara program jaminan sosial secara nasional dan memiliki hak yang bersifat memaksa untuk mengumpulkan dana amanat dari seluruh peserta asuransi sosial layaknya kewenangan negara menarik pajak warganya dan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu, setiap orang yang menginginkan pelayanan kesehatan maupun asuransi tambahan tetap dapat memilih layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pribadinya.
Berbeda halnya dengan warga negara yang berprofesi sebagai pekerja, baik swasta maupun sebagai pegawai negeri, kewajiban untuk mendaftarkan dirinya kepada BPJS dibebankan kepada pemberi kerja (perusahaan atau instansi) yang disertai dengan sanksi bagi pemberi kerja yang dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerjanya. Namun demikian, sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), ayat (2) huruf c, dan ayat (4) UU BPJS tersebut hanya diberikan kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara. Hal demikian bukanlah merupakan bentuk perlakuan diskriminasi antara perusahaan swasta dengan instansi penyelenggara negara. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengandung pengertian bahwa keadilan bukanlah selalu memperlakukan sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan sama terhadap hal-hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal yang memang berbeda, sehingga justru tidak adil apabila terhadap hal-hal yang berbeda diperlakuan sama. Demikian pula kata dikriminatif dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008, tanggal 10 Juli 2008 yaitu jika di dalamnya terkandung sifat membeda-bedakan orang yang didasarkan atas agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau status sosial tertentu lainnya. Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Nomor 065/PUU-II/2004, tanggal 3 Maret 2005, Mahkamah berpendapat pemaknaan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dibaca bersama-sama dengan pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sehingga secara sistematik, HAM tidaklah bersifat mutlak, karenanya dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Oleh karena itu, apabila pasal-pasal terkait sanksi bagi para pemberi kerja swasta tersebut dicabut, malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciptakan ketidakadilan karena akan terjadi situasi dimana pemberi kerja selain penyelenggara negara tidak dapat dikenai sanksi apabila tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS. Padahal suatu kewajiban yang telah dirumuskan menjadi kewajiban hukum akan selalu membutuhkan sanksi untuk dapat menegakkannya secara efektif, keberadaan hak asasi tidak dapat dipisahkan dari adanya kewajiban yang membatasinya. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang  menentukan bahwa materi muatan Undang-Undang dapat memuat ketentuan pidana. Selain itu, dengan dihilangkannya pasal-pasal a quo, lalu apakah mungkin negara yang merupakan badan hukum publik khusus sebagai pemberi kerja bagi para penyelenggara negara akan mendapatkan sanksi dari BPJS apabila  tidak mendaftarkan pekerjanya? Secara logika hal tersebut menjadi tidak masuk akal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar