PENDAHULUAN
Kesehatan sebagai salah
satu bagian dari hajat hidup orang banyak merupakan hak yang dilindungi dan
wajib dipenuhi negara sebagai perwujudan tujuan pembentukan negara Indonesia
sebagaimana termuat dalam Alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut kemudian diimplementasikan dalam
Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang memberikan hak konstitusional kepada setiap
orang atas jaminan sosial, dan di lain pihak, negara berdasarkan Pasal 34 ayat
(2) UUD 1945 memiliki kewajiban konstitusional untuk mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hak dan kewajiban konstitusional
yang timbul dari kedua pasal tersebut harus diartikan secara keseluruhan, yaitu
rakyat memiliki hak dan kewajiban untuk mendapatkan jaminan sosial, begitupula
negara juga memiliki hak dan kewajiban dalam mengembangkan sistem jaminan
sosial.
Kata “jaminan” secara bahasa dapat
berarti asuransi (insurance),
peyakinan (assurance), garansi (guarantee/warranty), janji (promise/pledge), dan pengamanan (security). Perkembangan dalam dunia
ekonomi kesehatan secara global akhirnya menuntun negara melalui pembentuk
Undang-Undang dalam mengembangkan system jaminan social di Indonesia
menggunakan kata “asuransi” dari yang sebelumnya “jaminan” sebagaimana dalam
UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Perubahan tersebut dalam pelaksanaannya menimbulkan perdebatan karena memiliki
kesan perbedaan bahkan pertentangan makna antara keduanya karena pandangan
masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih mengartikan asuransi dalam
pengertian komersial. Asuransi (insurance)
berasal dari kata in-sure yang berarti
memastikan. Dalam konteks asuransi kesehatan, pengertian asuransi adalah
memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan pelayanan yang
dibutuhkan tanpa harus mempertimbangkan keadaan kantongnya karena ada pihak
yang menjamin (asuradur) biaya pengobatan atau perawatan orang tersebut. Secara
teori, salah satu jenis asuransi adalah asuransi sosial, yaitu asuransi yang
wajib diikuti oleh seluruh atau sebagian penduduk yang pendanaannya dapat
berasal dari premi/iuran berupa presentase upah yang wajib dibayarkan atau
berasal dari pajak maupun kombinasi keduanya dan manfaat asuransi (benefit) ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan serta sama untuk semua peserta asuransi. Dalam asuransi
sosial terdapat system gotong-royong (risk
sharing) yang dikelola secara formal dengan hak dan kewajiban yang
disepakati secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dana yang
terkumpul dari masing-masing penduduk (dana amanat) akan digunakan untuk
kepentingan bersama.
Asuransi sosial bertujuan untuk
menjamin akses semua orang yang memerlukan pelayanan kesehatan tanpa
memperdulikan status ekonomi atau usianya, sehingga memungkinkan terciptanya
solidaritas sosial melalui gotong-royong antara kelompok kaya-miskin, muda-tua
dan sehat-sakit. Prinsip tersebut merupakan bagian dari pengamalan nilai
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya sila ke-3
“Persatuan Indonesia” dan sila ke-5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Bahkan Soekarno secara tersurat dalam pidatonya di Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI),
tanggal 1 Juni 1945 menyatakan bahwa gotong-royong adalah saripati Pancasila
dan menjadi ciri khas negara yang didirikan sebagai wujud impian dan cita-cita
bersama rakyat Indonesia. Dengan demikian, asuransi sosial sebagai system
jaminan sosial telah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan amanat UUD 1945
karena akan menciptakan sebuah keadilan sosial (social justice) dengan menumbuhkan kesadaran akan kewajiban
individu terhadap masyarakat/public secara kolektif sebagai perwujudan
kehidupan berbudaya yang mengutamakan kepentingan bersama.
UNIFIKASI
PENYELENGARA JAMINAN SOSIAL
Keberadaan BPJS, yang
merupakan amanat UU SJSN dan UU BPJS, sebagai satu-satunya badan penyelenggara
jaminan sosial dalam lingkup nasional ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pihak yang
kontra dengan bentuk dan sifat badan yang baru ini beranggapan
bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bersifat monopolistic karena
setiap orang, baik pekerja maupun pemberi kerja wajib mendaftarkan diri maupun
pekerjanya hanya kepada BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara yang ditentukan
oleh Undang-Undang. Hal tersebut dinilai
akan menghalangi hak masyarakat untuk memilih
penyelenggara jaminan sosial yang lebih baik dan menghalangi partisipasi
masyarakat untuk turut berperan serta menyelenggarakan jaminan sosial dan
mendapatkan pekerjaan yang layak. Pendapat tersebut dapat dipahami karena sebelum diadakan
unifikasi penyelenggara jaminan sosial a
quo, terdapat 4 (empat) badan penyelenggara
jaminan sosial seperti Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan
Persero ASKES yang masing-masing telah eksis berjalan sesuai dengan lingkup
kewenangannya. Baru kemudian Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN mengamanatkan dibentuknya suatu badan
penyelenggara jaminan sosial berskala nasional dengan Undang-Undang tersendiri dengan peralihan bahwa keempat
badan penyelenggara jamina sosial tersebut tetap diberi hak sebagai
penyelenggara jaminan sosial sampai dengan terbentuknya BPJS. Berdasarkan
rumusan pasal-pasal a quo maka
pembentuk Undang-Undang sebenarnya ingin merubah system jaminan sosial dengan
menyatukan seluruh badan (multi)
penyelenggara menjadi satu badan (single)
khusus secara nasional. Kebijakan
perubahan konsep tersebut adalah dalam rangka pengembangan system jaminan
sosial dan sesuai dengan maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menghendaki
agar sistem jaminan sosial yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan
bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan. Selain itu, perubahan konsep penyelenggara
jaminan sosial yang semula dilaksanakan oleh BUMN yang kinerjanya diukur
berdasarkan indicator laba dan indicator finansial lain kemudian diserahkan
kepada suatu badan hukum public khusus yang hanya menyelenggarakan program
jaminan sosial dengan prinsip gotong-royong, nirlaba, tata kelola yang baik (good governance), dan portabilitas telah
meluruskan kembali tujuan jaminan sosial yang merupakan program kewajiban
negara, bukan sekedar program “dagang” negara. Dalam konteks kepemilikan, BPJS
mirip dengan usaha bersama atau mutual dalam asuransi (seperti halnya AJB Bumi
Putera) dimana pemegang polis adalah pemegang saham namun kepesertaannya
bersifat wajib. Masyarakat juga lebih mendapatkan akses untuk menyampaikan
pendapatnya serta mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Hal tersebut juga telah sejalan dengan
pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 50/PUU-VIII/2010, tanggal 21
November 2011, antara lain mempertimbangkan, “[3.14.3] Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan
negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi UUD 1945 tidak
mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam
pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34
ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional – yang sekaligus merupakan
tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu
bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan
jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan
Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat
dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Dalam asuransi sosial, manfaat/paket
jaminan yang ditetapkan oleh Undang-Undang adalah sama atau relative sama bagi
seluruh peserta karena tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) para anggotanya. Lebih
lanjut, apabila melihat ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
maka tujuan dari asuransi sosial adalah untuk pemenuhan kebutuhan dasar yang
layak seluruh rakyat Indonesia. Kebutuhan dasar yang layak pada hakikatnya
adalah mempertahankan hidup seseorang, sehingga orang tersebut mampu
berproduksi atau berfungsi normal sesuai dengan martabat kemanusiaan. Hal
tersebut kemudian yang
salah satunya mendasari adanya kewajiban untuk turut serta bagi seluruh rakyat
Indonesia, karena apabila pemenuhan kebutuhan dasar tersebut diharapkan secara sukarela
(komersial) dengan membeli asuransi maka sebagian besar penduduk tidak mampu
atau tidak disiplin untuk membeli asuransi. Karakteristik asuransi sosial yang
mengatur paket jaminan/manfaat medis relative sama untuk semua peserta dan
iuran yang proporsional terhadap upah, akan memfasilitasi terciptanya keadilan
yang merata (equity egaliter) dimana
seseorang dijamin mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medisnya dan mengiur sesuai dengan pendapatannya disamping iuran untuk untuk
penduduk miskin dan tidak mampu dibayar oleh pemerintah melali program Penerima
Iuran Bantuan (PBI). Hal tersebut memungkinkan negara untuk memenuhi hak
layanan kesehatan sesuai dengan Pasal 28H UUD 1945. Namun demikian, seseorang
yang memiliki penghasilan lebih dan sehingga menginginkan pelayanan kesehatan
di luar kebutuhan dasarnya tetap dapat memilih layanan kesehatan yang
diinginkan (naik kelas), tentu dengan selisih biaya lebih dari biaya yang
menjadi haknya, dan merupakan tanggungan pribadi orang tersebut. Hal tersebut
sesuai dengan prinsip equity liberter,
yaitu hak layanan kesehatan diperoleh seseorang sesuai dengan bayaran orang
tersebut sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UU SJSN.
Baik UU SJSN maupun UU BPJS juga
membrikan kesempatan yang sama bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha
penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan baik untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs)
yang layak maupun lebih bagi masyarakat yang membutuhkannya. Kata “negara” dalam Pasal 34
ayat (2) UUD 1945 juga mencakup peran serta pemerintah pusat, pemerintah daerah
(pemda) dan pihak swasta untuk turut serta mengembangkan system jaminan sosial
dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat, terlebih lagi di
daerah-daerah penjuru tanah air yang masih belum tersedia fasilitas kesehatan
karena pertumbuhan fasilitas kesehatan di daerah telah diserahkan kepada pemda
masing-masing, sehingga baik pemda maupun pihak swasta-lah yang akan berespon
membangun fasilitas yang memadai dan BPJS akan membayar siapapun yang berobat
di fasilitas kesehatan tersebut. Ataupun dalam bentuk asuransi tambahan yang
akan memenuhi (meng-cover) kebutuhan
dan layanan kesehatan yang melebihi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak. Dengan demikian, semangat konstitusi yang
mengamanatkan adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat dengan
mudah terealisasi dengan adanya kerja sama berbagai pihak khususnya dalam hal
ini BPJS dan pihak swasta. Oleh karena itu, BPJS sebagai satu-satunya badan
penyelenggara program jaminan sosial harus membuka diri terhadap pihak swasta
yang bergerak dalam bidang pelayanan jaminan kesehatan untuk bersinergi dalam
mewujudkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
KEPESERTAAN
WAJIB
Karakter atau ciri dari layanan
kesehatan adalah adanya ketidakpastian (uncertainty)
sedangkan di lain pihak, akses terhadap fasilitas serta pelayanan kesehatan
yang layak merupakan hak konstitusional warga negara Indonesia. Oleh karena
itu, diperlukan sebuah system asuransi untuk seluruh masyarakat yang bersifat
wajib bagi semua penduduk dan system pendanaan public bersumber dari pendapatan
umum negara yang berasal dari iuran atau pungutan wajib yang bersifat memaksa.
Jika tidak diwajibkan maka yang sakit-sakitan akan membeli asuransi, sementara
yang sehat dan masih muda tidak akan membeli asuransi karena tidak merasa
memerlukannya, sehingga tidak mungkin tercapai kegotong-royongan antara
kelompok kaya-miskin, muda-tua, dan sehat-sakit. Dengan demikian, mewajibkan
penduduk untuk ikut serta dalam asuransi sosial adalah dalam rangka untuk memenuhi
hak asasi manusia melalui pembiayaan secara kolektif dan sesuai dengan fitrah
manusia madani (civil society) yang
selalu mengutamakan kepentingan bersama. Begitu pula dalam hal kewajiban
membayar iuran yang bersifat proporsional dari upah akan menciptakan subsidi
silang dimana yang memiliki upah lebih kecil akan membayar secara nominal lebih
kecil, tetapi ketika sakit dan mendapatkan pelayanan kesehatan maka jaminan
layanan medis tidak dibedakan dengan yang memiliki upah lebih tinggi.
Pada prinsipnya iuran wajib adalah sama
dengan pajak penghasilan (PPh), iuran asuransi sosial disebut juga sebagai
pajak jaminan sosial (social security tax).
Perbedaannya adalah, PPh bersifat progesif dimana semakin banyak upah yang
diterima maka semakin besar pajak yang harus dibayarkan, sedangkan iuran
bersifat regresif. Selain itu, PPh menganut system residual, tidak inklusif
layanan kesehatan karena penggunaan dananya tidak ditentukan di muka, sedangkan
pada asuransi sosial, penggunaan dana hanya terbatas untuk membayar manfaat
asuransi yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Karena
sifatnya yang wajib, sama dengan PPh maka pengelolaan asuransi sosial haruslah
dilakukan secara nirlaba sehingga bentuknya harus badan hukum public khusus
yaitu BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara program jaminan sosial secara
nasional dan memiliki hak yang bersifat memaksa untuk mengumpulkan dana amanat
dari seluruh peserta asuransi sosial layaknya kewenangan negara menarik pajak
warganya dan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu,
setiap orang yang menginginkan pelayanan kesehatan maupun asuransi tambahan
tetap dapat memilih layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
pribadinya.
Berbeda halnya dengan
warga negara yang berprofesi sebagai pekerja, baik swasta maupun sebagai
pegawai negeri, kewajiban untuk mendaftarkan dirinya kepada BPJS dibebankan
kepada pemberi kerja (perusahaan atau instansi) yang disertai dengan sanksi
bagi pemberi kerja yang dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerjanya. Namun demikian,
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1), ayat (2) huruf c, dan ayat (4) UU BPJS tersebut hanya diberikan kepada pemberi kerja selain penyelenggara
negara. Hal demikian bukanlah merupakan bentuk perlakuan diskriminasi antara perusahaan
swasta dengan instansi penyelenggara negara. Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 mengandung pengertian bahwa keadilan bukanlah selalu
memperlakukan sama terhadap setiap orang. Keadilan dapat berarti memperlakukan
sama terhadap hal-hal yang memang sama dan memperlakukan berbeda terhadap hal-hal
yang memang berbeda, sehingga justru tidak adil apabila terhadap hal-hal yang
berbeda diperlakuan sama. Demikian pula kata dikriminatif dalam Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 15/PUU-VI/2008, tanggal 10 Juli 2008 yaitu
jika di dalamnya terkandung sifat membeda-bedakan orang yang didasarkan atas
agama, ras, suku, bahasa, jenis kelamin, keyakinan politik, atau
status sosial tertentu lainnya. Selain itu, dalam
Putusan Mahkamah Nomor 065/PUU-II/2004, tanggal 3 Maret 2005, Mahkamah berpendapat
pemaknaan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 harus dibaca bersama-sama dengan pasal
28J ayat (2) UUD 1945 sehingga secara sistematik, HAM tidaklah bersifat mutlak,
karenanya dalam menjalankan hak dan kebebasan, setiap orang wajib menghormati
HAM orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan Undang-Undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain.
Oleh karena itu,
apabila pasal-pasal terkait sanksi bagi para pemberi kerja swasta tersebut
dicabut, malah akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menciptakan
ketidakadilan karena akan terjadi situasi dimana pemberi kerja selain penyelenggara
negara tidak dapat dikenai sanksi apabila tidak mendaftarkan pekerjanya dalam
program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS. Padahal suatu kewajiban yang telah
dirumuskan menjadi kewajiban hukum akan selalu membutuhkan sanksi untuk dapat menegakkannya
secara efektif, keberadaan hak
asasi tidak dapat dipisahkan dari adanya kewajiban yang membatasinya. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang menentukan bahwa
materi muatan Undang-Undang dapat memuat ketentuan pidana. Selain itu, dengan dihilangkannya
pasal-pasal a quo, lalu apakah
mungkin negara yang merupakan badan hukum publik khusus sebagai pemberi kerja
bagi para penyelenggara negara akan mendapatkan sanksi dari BPJS apabila tidak mendaftarkan pekerjanya? Secara logika
hal tersebut menjadi tidak masuk akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar