Rabu, 30 Desember 2015

NEGARA (HUKUM) VS MASYARAKAT (ADAT) [Dalam Perspektif UU Kehutanan serta UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan]

Pendahuluan
Hubungan antara manusia dengan alam telah berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban dan kebudayaan umat manusia, baik secara revolusioner maupun evolusioner. Dahulu kala, manusia menggantungkan hidupnya secara penuh kepada alam sekitar dalam rangka memenuhi kebutuhan primer, sekunder maupun tersier, semuanya tergantung dan diambil langsung dari alam sekitar. Namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, sikap manusia terhadap alam menjadi berubah, dimana manusialah yang menjadi pusat kehidupan. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut manusia berusaha menguasai, mengeksploitasi, dan mengeksplorasi alam dalam proses industrialisasi untuk kepentingannya sendiri yang bersifat ekonomis, sehingga lingkungan alam mengalami kerusakan dan kemunduran fungsi serta daya dukung bagi kehidupan bersama. Barulah kemudian manusia sadar bahwa lingkungan hidup perlu mendapatkan perhatian, perlindungan dan dijaga kelestariannya untuk kelangsungan hidup umat manusia sendiri. Kesadaran mengenai pentingnya persoalan ekologis ini, dari waktu ke waktu terus berkembang, sehingga akhirnya umat manusia menemukan kenyataan diperlukan adanya keseimbangan antara manusia dengan alam yang serasi dan selaras, dimana manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos.
Pemikiran akan perlunya keseimbangan pola hubungan antara manusia dengan alam dalam perikehidupan yang modern semakin berkembang pesat pasca diselenggarakannya United Nation Conference on Human Environment (UNCHE) di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972. Konferensi 1972 ini menghasilkan resolusi yang sangat menentukan dan monumental untuk masalah lingkungan hidup. Atas dorongan kesadaran yang luas mengenai pentingnya upaya melindungi lingkungan hidup dari ancaman pencemaran dan perusakan, kebijakan lingkungan hidup dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara resmi. Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah pantai terpanjang dan terbanyak serta memiliki keragaman flora dan fauna yang paling menakjubkan di dunia baru  melegalisasi kebijakan lingkungan hidup pada tahun 1982 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699, selanjutnya disebut UU 23/1997). Lebih lanjut, kebijakan lingkungan hidup tersebut kemudian dikonsitusionalisasi melalui amandemen UUD 1945 yang telah memberikan peningkatan status lingkungan hidup dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
Jaminan Konstitusional Atas Lingkungan Hidup
Ketentuan mengenai lingkungan hidup tersebut kemudian dirumuskan dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” khususnya dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik, merupakan hak asasi manusia. Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang itu, berarti negara diharuskan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat yang termasuk kategori hak asasi manusia tersebut. Sebagai hak setiap orang tentunya secara bertimbal balik pula mewajibkan semua orang untuk menghormati hak orang lain sehubungan dengan lingkungan yang baik dan sehat itu. Oleh karena itu, di satu sisi setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, tetapi di sisi lain setiap orang juga berkewajiban untuk menjaga dan menghormati hak orang lain untuk mendapatkan dan menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat itu. Demikian pula negara, disamping dibebani kewajiban dan tanggung jawab untuk menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat, juga berhak menuntut setiap orang untuk menghormati hak orang lain, dan apabila perlu memaksa setiap orang untuk tidak merusak dan mencemarkan lingkungan hidup untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, segala kebijakan dan tindakan pemerintahan serta pembangunan harus tunduk kepada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain itu, masih dalam kaitan yang sama, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Berdasarkan ketentuan a quo maka terdapat dua konsep yang saling berkaitan, yaitu bahwa perekonomian nasional berdasar atas asas demokrasi ekonomi adalah dimaksudkan harus mengandung prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan salah satu perwujudan dari wawasan lingkungan. Namun juga sebaliknya, prinsip pembangunan yang berkelanjutan juga harus diterapkan dalam kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), proses pembangunan atau perkembangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk kehidupan. Atau dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dapat dirumuskan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan, termasuk sumber dayanya, ke dalam proses pembangunan yang menjamin kemampuan dan kesejahteraan generasi masa sekarang dan yang akan datang, sehingga tidak boleh hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek. Dengan demikian, terdapat dua elemen pokok yang harus dipahami khususnya bagi pembentuk Undang-Undang, yaitu: (i) Konsep kebutuhan, yaitu kebutuhan generasi masa kini dan mendatang untuk hidup sejahtera, terutama kebutuhan hidup bagi masyarakat kurang mampu dan komunitas tertinggal yang harus mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan; dan (ii) Konsep pembatasan, yaitu pembatasan terhadap pemaksaan yang dilakukan oleh negara, korporasi, atau masyarakat atas kemampuan lingkungan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sekarang dan masa yang akan datang.
Oleh karena itu, dengan dicantumkannya norma mengenai lingkungan hidup dalam UUD 1945 maka tidak boleh ada lagi kebijakan yang tertuang dalam bentuk Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang bertentangan dengan ketentuan dalam konstitusi mengenai lingkungan hidup. Atau dengan perkataan lain, semua kebijakan mengenai lingkungan hidup yang akan dibuat oleh para pembentuk Undang-Undang harus menundukkan diri pada konstitusi sebagai hukum tertinggi. Apalagi, Indonesia merupakan satu negara kepulauan yang sangat rawan dan rentan bencana alam. Jika lingkungan hidup tidak dilindungi, pada saatnya kerusakan alam yang terjadi justru akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.
Negara dan Masyarakat Hukum Adat
Konstitusi sebagai norma dasar (staatsgrundgezets) dalam hierarki peraturan perundang-undangan tentu menjadi jiwa dari berbagai peraturan perundang-undangan dibawahnya, khususnya dalam hal ini adalah Undang-Undang di bidang lingkungan hidup, yang mengaktualisasikan segala prinsip yang telah terkandung dalam konstitusi. Namun demikian, dalam implementasinya terdapat beberapa permasalahan terkait dengan pengejawantahan prinsip konstitusi a quo dalam norma Undang-Undang, khususnya mengenai “singgungan”-nya dengan komunitas masyarakat hukum adat yang memang secara historis telah terlebih dahulu hidup mendiami suatu lingkungan yang nantinya terkena dampak pengaturan oleh Undang-Undang, baik UU P3H maupun UU Kehutanan, sehingga beberapa kalangan menilai bahwa UU P3H memiliki karakter yang represif yang diskriminatif terhadap masyarakat sekitar hutan. Karakter represif tersebut digambarkan, antara lain, dari bertambahnya sejumlah pasal-pasal ancaman pemidanaan dan memenjarakan masyarakat hukum adat, masyarakat lokal dan masyarakat desa yang bersinggungan dengan kawasan hutan dalam UU P3H, padahal semangat UU P3H diawal adalah menyasar pelaku perusakan hutan yang terorganisir yang merupakan usaha skala besar. Berdasarkan pendapat tersebut, maka timbul permasalahan terkait “Apakah ketentuan pemidanaan dalam UU P3H dan UU Kehutanan telah menegasikan hak-hak masyarakat hukum adat sehingga bertentangan dengan UUD 1945?”
Bahwa masyarakat hukum adat adalah entitas antropologis yang tumbuh secara alamiah pada suatu bagian muka bumi tertentu, dan terdiri dari berbagai komunitas primordial, berukuran kecil yang warganya mempunyai hubungan darah satu sama lainnya dengan karakteristik adanya kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan negara adalah entitas politik baru yang bersifat artifisial, yang dirancang untuk menguasai seluruh penduduk yang mendiami suatu daerah yang lebih luas, yang lazimnya mempunyai sumber daya alam yang kaya dengan karakteristik adanya kedaulatan dan kekuasaan. Oleh karena kedua entitas ini meliputi warga yang sama dan hidup di atas muka bumi yang sama, maka secara tertutup atau terbuka akan timbul suatu competing claims yang tidak seimbang terhadap manusia, terhadap wilayah, serta terhadap sumber daya alam yang sama. Sudah barang tentu, dalam kompetisi ini masyarakat hukum adat akan selalu kalah, karena harus berhadapan dengan entitas politik yang memiliki kekuatan (power) jauh lebih besar, yang dengan kekuatan tersebut bertujuan, antara lain, adalah untuk penguasaan terhadap seluruh rakyat dan sumber daya di dalam wilayahnya, serta dilengkapi dengan suatu pemerintahan yang didukung oleh aparat penegak hukum  didalamnya. Hal tersebut yang mendorong adanya perjuangan secara terstruktur dan terencana untuk memberikan pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat termasuk dalam konstitusi sebagai norma hukum tertinggi.
Bahwa Pasal 18B ayat (2) menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Pengakuan dan penghormatan negara terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tersebut kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar, antara lain, Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan peraturan di bawahnya. Penjelasan Umum Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan, “Dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak, oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dalam hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka Hukum Adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal.” Selain itu, Pasal 5 Undang-Undang a quo menyatakan, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.” Penjelasan butir (f) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan pengertian bahwa hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang. Bahkan masyarakat hukum adat juga memiliki hak yang dikecualikan dalam pembayaran pajak. Pasal 48 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah memberikan pengaturan hak bahwa tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan. Terlebih lagi, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-X/2012, bertanggal 16 Mei 2013 telah menempatkan hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara. Dengan demikian, secara normatif negara memiliki political will untuk menjamin keberadaan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut memiliki 4 (empat) syarat konstitusional yaitu: (i) sepanjang masih ada; (ii) sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban; (iii) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan (iv) diatur dalam Undang-Undang. Selain itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, Mahkamah dalam Putusan Nomor Nomor 35/PUU-X/2012 a quo, antara lain juga mempertimbangkan sebagai berikut:
Di samping itu, berkenaan dengan syarat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dalam kenyataannya status dan fungsi hutan dalam masyarakat hukum adat bergantung kepada status keberadaan masyarakat hukum adat. Kemungkinan yang terjadi adalah: (1) kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya; (2) kenyataannya tidak ada tetapi diakui keberadaannya. Jika kenyataannya masih ada tetapi tidak diakui keberadaannya, maka hal ini dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya, tanah/hutan adat mereka digunakan untuk kepentingan lain tanpa seizin mereka melalui cara-cara penggusuran-penggusuran. Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai. Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek hak-hak adatnya masih diakui. Artinya, berdasarkan sejarah keberadaan mereka pernah diakui oleh negara, padahal kenyataannya sesuai dengan perkembangan zaman sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda atau sifat yang melekat pada masyarakat hukum adat. Tanda-tanda dan sifat masyarakat hukum adat yang demikian tidak boleh dihidup-hidupkan lagi keberadaannya, termasuk wewenang masyarakat atas tanah dan hutan yang pernah mereka kuasai. Hutan adat dengan demikian kembali dikelola oleh Pemerintah/Negara. Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, tidak bermaksud melestarikan masyarakat hukum adat dalam keterbelakangan, tetapi sebaliknya mereka harus tetap memperoleh kemudahan dalam mencapai kesejahteraan, menjamin adanya kepastian hukum yang adil baik bagi subjek maupun objek hukumnya, jika perlu memperoleh perlakuan istimewa (affirmative action). Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban [vide Pasal 28I ayat (3) UUD 1945]. Tidak dapat dihindari, karena pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat hukum adat cepat atau lambat juga akan mengalami perubahan, bahkan lenyap sifat dan tanda-tandanya. Perubahan tersebut dapat berdampak positif maupun negatif bagi masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, untuk menjamin adanya kepastian hukum yang berkeadilan, pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat tersebut harus dituangkan dalam norma Undang-Undang dengan tetap memperhatikan ketentuan lain dalam konstitusi secara komprehensif khususnya ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam konstitusi.
Bahwa dalam kerangka hubungan antara hak dan kewajiban negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut saya, negara berhak melakukan intervensi dalam hal penegakan kebijakan lingkungan hidup yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan termasuk salah satunya dengan menerapkan ketentuan pidana dalam peraturan perundangan-undangan di bidang lingkungan hidup, dalam hal ini UU P3H dan UU Kehutanan. Selain itu, ketentuan pidana dalam kedua Undang-Undang a quo adalah sebagai bentuk upaya represif dari pemerintah dalam penegakan hukum lingkungan hidup, karena sebagaimana telah dijelaskan di atas, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan. Namun demikian, upaya represif dalam penegakan hukum lingkungan yang diaktualisasikan dalam ketentuan pidana tersebut harus tetap dipandang sebagai upaya hukum terakhir (ultimum remedium), yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Semangat kekeluargaan dan musyawarah yang diamanatkan oleh Pancasila tetap harus menjadi upaya pertama sekaligus guidance dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup terutama menyangkut masyarakat hukum adat yang dalam kehidupan kesehariannya patuh kepada hukum adatnya masing-masing. Di lain pihak, dibutuhkan pemahaman yang utuh di kalangan penegak hukum, terutama dalam menangani kasus-kasus pidana yang melibatkan masyarakat adat, untuk lebih melihat dan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat lokal beserta kebiasaannya.
Selain itu, adanya ketentuan Pasal 11 ayat (4) UU P3H yang memuat keharusan izin terlebih dahulu untuk melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial merupakan salah satu upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup selain juga menggunakan instrumen pengawasan secara maksimal. Adanya izin dari pejabat pejabat yang berwenang tersebut pada dasarnya juga memberikan perlindungan kepada eksistensi masyarakat hukum adat, karena ditujukan untuk memastikan bahwa masyarakat yang bersangkutan adalah benar-benar merupakan pihak yang berhak untuk melakukan penebangan kayu, di samping untuk menjaga agar hutan tidak disalahgunakan oleh mereka yang tidak berhak. Namun demikian, pada prinsipnya pemberian izin bagi masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan haruslah dilakukan sebagai bagian dari tugas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat sekitar yang masih hidup dan melaksanakan aktivitasnya guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.

Bahwa dalam perkembangannya sampai sekarang, konsep pembangunan berkelanjutan sebagai suatu kesatuan sistem pembangunan sebagaimana telah dijelaskan di atas, selalu dikaitkan dengan tiga hal pokok, yaitu soal lingkungan (environment), ekonomi (economy), dan komunitas (community). Pada umumnya, konsep pembangunan berkelanjutan cenderung hanya dilihat dari perspektif ekonomi saja tanpa melihat secara lebih dalam sebagai persoalan kemanusiaan. Itulah sebabnya dalam UUD 1945, ketentuan mengenai pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan ini ditempatkan dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”, yaitu dalam Pasal 33 ayat (4). Oleh karena itu, sangat jelas bahwa pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan dilihat sebagai prinsip dalam kerangka demokrasi ekonomi sebagai dasar bagi penyelenggaraan perekonomian nasional. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara, dalam hal ini khususnya antara masyarakat hukum adat dengan para pemiliki modal (industri). Dengan demikian, pada prinsipnya pemerintah dapat memberikan ruang atau kesempatan dalam bentuk perizinan kepada pihak pengusaha (BUMN maupun swasta) dalam bidang lingkungan hidup, khususnya kehutanan, untuk mengolah dan menikmati hasil kekayaan hutan dengan melibatkan peran masyarakat hukum adat dengan tetap mempertimbangkan karakteristik sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat. Lebih lanjut, pemerintah harus pula memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat (termasuk masyarakat hukum adat) untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hutan, baik itu melalui kerjasama dengan pengusaha yang bergerak di bidang kehutanan dengan cara mempekerjakan masyarakat hukum adat setempat, atau dengan memberikan pola pengelolaan, wilayah, serta kelembagaan tertentu bagi masyarakat hukum adat untuk mengelola wilayah tersebut secara turun-temurun, sehingga tidak akan lagi terjadi konflik antara pengusaha kehutanan dengan masyarakat hukum adat setempat. Hal ini dapat dicapai dengan baik dengan berdasarkan pada hukum yang intinya memiliki beberapa fungsi, antara lain yaitu: (i) law is a tool of social control; (ii) law is a tool of social engineering; dan (iii) law is a tool of social integration. Dengan ketiga fungsinya tersebut, kedua Undang-Undang a quo dapat dan akan berfungsi mengontrol agar masyarakat berperilaku yang ramah dan melestarikan hutan sekaligus dapat memanfaatkan hutan secara berkesinambungan untuk kepentingan masyarakat di masa kini dan masa yang akan datang. Kedua, merubah perilaku negatif masyarakat (yang destruktif) ke arah yang lebih positif. Ketiga, mengintegrasikan masyarakat agar sinergis dalam memperlakukan dan memanfaatkan hutan secara ekonomis dan ekologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar